Di masa pandemi ini, keterasingan justru dialami oleh para pasien Covid-19. Meski tak seserem kusta, Covid-19 justru lebih memenjara. Ketika saya atau Anda diketahui terpapar Covid-19, teriakan banyak orang akan memekik telinga. Covid! Covid! Segera digeledah. Segera diasingkan. Segera panggilkan ambulance dan pindahkan orang ini agar tak merusak kehidupan bersama. Biar dia sendiri. Biar dia diisolasi. Biar dia diasingkan untuk sementara waktu atau untuk sepanjang waktu. Bedanya, mereka yang terpapar Covid-19 tetap dirawat. Ada tim khusus yang menangani mereka. Meski dirawat, sakit yang mendera pasien justru tetap ada, karena ia merasa diasingkan dan disingkirkan dari lingkungannya.
Konteks Perjanjian Lama memang berbeda. Dalam Perjanjian Baru, hukum mulai dievaluasi. Revolusi lahir dari sosok Yesus. Ia datang menginterpretasi hukum. Di dalam pikiran-Nya, hukum terbuka untuk ditafsir. Jika tidak ada penafsiran, untuk apa ada hakim. Hukum tanpa penafsiran sama halnya dengan hidup tanpa refleksi dan pemaknaan. Jika hukum ditelan bulat-bulat sesuai dengan teks yang tertulis, saran saya, masukan saja materi hukum itu ke dalam komputer biar alat itu yang memberi tahu hasil, apakah seseorang melanggar hukum atau tidak.
Yesus dalam kisah Injil hari ini (Markus 1:40-45) datang sebagai penafsir hukum. Dari penafsiran atas hukum yang ada, Ia kemudian bertindak sebagai hakim yang adil. Ia menangani perkara dengan adil. Dalam perkara kali ini, Yesus berhadapan dengan seorang yang sakit kusta. Menurut tradisi hukum orang Israel, orang-orang kusta tak boleh ada di tengah kerumunan. Mereka wajib disingkirkan. Mereka perlu diisolasi. Panggung mereka bukan di kota. Mereka lebih cocok tinggal di tempat khusus. Diisolasi. Dikarantina.
Akan tetapi, Yesus melihat penerapan hukum yang demikian justru membuat manusia teralienasi dari dirinya sendiri, juga lingkungannya. Yesus justru melihat ketentuan hukum dan pelabelan masyarakat atas orang kusta, dengan sendirinya merusak martabat manusia sebagai citra Allah. Mengasingkan berarti mengeluarkannya dari kelompok dan lingkungan saya. Itu berarti, kita tengah menolak unsur kemanusiaannya secara yuridis dan sosiologis. Prinsip demikian, ditolak oleh Yesus.
Untuk membuat hukum lebih dekat dengan kehidupan manusia, Yesus melakukan beberapa tahapan berikut. Pertama, Ia peduli dengan si kusta. Dalam ilmu hukum dan penanganan perkara, seorang hakim pertama-tama terbuka dan mau menerima pengaduan atau persoalan yang tengah ditangani. Jika tidak jatuh cinta sama perkara, otomatis proses penyelesaian perkara tidak akan berjalan baik. Bukti kepedualian Yesus muncul dari pernyataan demikian: "Maka, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan" (Markus 1:40).
Kedua, Yesus mengidentifikasi perkara dan pihak yang berperkara. "Yesus mengulurkan tangan-Nya dan menjamah orang itu" (Markus 1:40). Hakim yang adil akan melakukan hal yang sama ketika menangani perkara. Sedapat mungkin ia "menjamah persoalan, pelapor, dan terlapor," lalu mulai mengadili.Â
Dalam hal ini, Yesus tidak hanya berpegang pada kekuatan hukum semata, tetapi bagaimana interpretasi atas hukum yang notabene dibuat untuk kebaikan bersama -- bukan merusak kehidupan bersama atau menghukum seseorang -- dicermati dengan bijak dan tepat. Yang dicari dalam proses identifikasi ini adalah keadilan, bukan hukuman.
Ketiga, Yesus mengadili dan membuat putusan. Setelah mengidentifikasi, pekerjaan selanjutnya adalah menetapkan. Kata mengadili, hemat saya bisa ditarik dari upaya Yesus untuk menyembuhkan si kusta. "Seketika itu juga, lenyaplah penyakit si kusta" (Markus 1:42).Â
Di sini, Yesus hadir sebagai hakim yang berusaha mengadili perkara untuk kebaikan bersama. Ia mengembalikan mereka yang selama ini terasing dan diasingkan ke lingkungan yang normal -- biar mereka hidup bersama seperti orang lain. Fungsi hukum dalam hal ini adalah mengedukasi seseorang agar kembali ke masyarakat sebagai pribadi yang baik.
Keempat, Yesus mengutus dan mengajukan naik banding atau peninjauan ulang atas perkara yang sudah diputuskan. Hemat saya, hal ini bisa dilihat dari pernyataan Yesus: "Pergilah! Perlihatkanlah dirimu kepada imam, dan persembahkanlah untuk pentahiranmu, persembahan yang diperintahan Musa, sebagai bukti bagi mereka" (Markus 1:44).Â
Dalam hal ini, Yesus ingin semua orang mengevaluasi dan mencermati putusan yang telah dibuat. Jika ada yang keliru, mari kita cermati ulang secara bersama. Imam sebagai penjaga hukum Taurat kala itu, adalah institusi Yuridis yang bisa dijadikan pembanding dan pembuktian atas perkara yang dibuat.