Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Banjir Ibu Kota dan Jualan Politik yang Tak Pernah Selesai

10 Februari 2021   08:56 Diperbarui: 10 Februari 2021   09:43 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Banjir menghalangi sirkulasi transportasi. Foto: kompas.com.

Bahaya besar di masa krusial ini adalah soal kebersihan. Kita semua diwajibkan menggunakan masker agar tak terinveksi virus corona. Akan tetapi, kaki, tangan, rumah, dan jalanan kita dipenuhi genangan air. Potret ini justru mempermudah penularan berbagai penyakit dan membuat seseorang mudah jatuh sakit. 

Orang justru tak lagi mengontrol diri terhadap berbagai serangan penyakit. Keegoisan kita sebagai warga negara kadang membuat kita sendiri jatuh terperosok ke dalam kuburan yang digali sendiri. Mau lari ke mana sekarang, sementara semua rumah sakit dan banyak tempat lainnya dipakai untuk isolasi pasien Covid-19.

Dua masalah besar ibukota sejatinya adalah kemacetan dan banjir. Banyak dana digelontorkan tiap tahun, hanya untuk menyelesaikan persoalan ini. Padahal, kita sadar dan tahu bahwa ketika musim hujan tiba, banjir adalah sebuah kepastian. Hujan datang, otomatis ada banjir. Mengurai pernyataan ini, menjadi ruwet bukan main hanya karena kurangnya ketegasan pemerintah setempat. 

Jika pemerintah setempat selalu baper dengan kemauan warganya, dengan sendirinya, ia ingin dipimpin dan diarahkan -- sementara seorang pemimpin dipilih agar ia bisa memimpin dan mengarahkan. 

Di dalam tubuh seorang pemimpin, pertama-tama harus ada pil keberanian dalam membuat sebuah terobosan demi kesejahteraan bersama dan untuk tujuan masa yang relatif jauh ke depan. Jika seorang pemimpin, terus-menerus digiring oleh opini cengengesan warga, suatu ketika ia tak bisa berbuat apa-apa selain manut.

Keseriusan untuk menangani masalah banjir, hemat saya belum menyentuh akar. Kita baru hilir-mudik mencari cara ketika banjir sudah menyentuh lutut. Sebetulnya, ini ujian bagi keseriusan kita menjadi seorang pemimpin. 

Jika menunggu masalah muncul lalu dibuat strategi, hemat saya, bukan sebuah program yang baik untuk diterapkan -- kecuali jika masalah banjir ini munculnya lima tahun sekali. Masalahnya, tiap tahun kita tahu masalah banjir selalu ada. 

Mengapa tak dicari akar masalahnya selama delapan bulan menjelang musim hujan tiba? Terlalu banyak ambisi pribadi dan safari mengurus hal-hal yang kurang berfaedah bisa jadi adalah alasan kuat mengapa hal-hal krusial untuk kepentingan jangka panjang dan kesejahteraan banyak orang dilupakan.

Jakarta dengan komposisi penduduk yang sangat padat, pemukiman warga yang terlalu sempit, dan sistem saluran air yang selalu tersumbat adalah akar dari masalah banjir. 

Jika semua warga punya sense of love terhadap lingkungan sekitar -- buang sampah pada tempatnya, gotong-royong membangun aliran sungai -- ditambah kebijakan pemerintah dengan membersihkan wilayah sekitar aliran sungai -- relokasi warga dekat bantaran sungai -- hemat saya, alam juga akan peduli dengan kita. Jika, sebaliknya kita tetap ngotot bertahan dengan keegoisan kita, mimpi untuk keluar dari masalah banjir menjadi angin berlalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun