Kasus korupsi yang menyeret nama Pinangki Sirna Malasari menuai riuh komentar. Pasalnya, mantan Kepala Subbagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung itu dikepung berbagai tindak pidana. Menurut laporan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Jaksa Pinangki melanggar beberapa ketentuan hukum yang memberatkan, yakni peyalahgunaan wewenang sebagai penegak hukum, menjadi kolaborator -pelanggar hukum Joko Tjandra, dan melakukan tindak pidana pencucian uang.
Dalam tuntutannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menjelaskan bahwa tindakan Pinangki telah melanggar Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dan Pasal 15 jo Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (MI, 7/2/2021). Atas perbuatannya ini, Pinangki divonis empat tahun penjara dan denda Rp 500 juta.
Jaksa Pinangki dalam dakwaannya telah  terbukti menerima uang suap sebesar US$ 500 ribu dari buron kurupsi pengalihan hak tagi (cassie) Bank Bali Joko Soegiarto Tjandra alias Joko Tjandra dalam proses pengurusan fatwa Mahkamah Agung melalui Kejaksaan Agung. Tindakan Pinangki tentunya tergolong dalam pemufakatan jahat dimana ia sendiri sebagai penegak hukum tidak bertanggung jawab dalam tugas meberantas korupsi di negeri ini. Pinangki justru membantu pelanggar hukum -- dalam hal ini Joko Tjandra -- agar lolos dari jeratan hukum.
Status Pinangki sebagai penegak hukum merupakan alasan kuat kenapa JPU memberikan tuntutan yang berat. Sebagai seorang penegak hukum, Pinangki seharusnya bertindak profesional dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Ia harus memberi contoh yang baik kepada setiap warga negara agar menaati hukum dengan baik. Akan tetapi, Pinangki, dalam hal ini, malah menggunakan kewenangannya sebagai jaksa, demi memperkaya diri.
Dalam tuntutannya, JPU juga memberikan keterangan terkait tindak pidana lainnya yang menjerat Pinangki. Selain membantu buronan KPK Joko Tjandra, Pinangki juga terbukti melakukan pencucian uang dari suap yang diberikan. Uang tersebut digunakan Pinangki untuk membeli sebuah mobil BMW X-5 dan membayar proses perawatan kecantikan. Hal-hal demikian tentunya harus menjadi kekuatan ekstra atas beratnya tuntutan yang disematkan pada Pinangki.
Pada hari ini Senin (8/2/2021), Pinangki akan menjalani sidang putusan. Bukti-bukti dan dakwaan hukuman yang diberikan kepada Jaksa Pinangki sudah disiapkan dalam sidang putusan. Akan tetapi, lembaga Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Majelis Hakim agar memberikan hukuman yang maksimal kepada Pinangki. Menurut ICW, Pinangki berhadapan dengan banyak tindak pidana. Maka, hukuman maksimal harus diterapkan kepadanya.
"ICW mendesak Majelis Hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) untuk menjatuhkan vonis maksimal 20 tahun penjara kepada terdakwa Pinangki Sirna Malasari," kata Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana dalam keterangannya yang dikutip JawaPos.Com.
Keberatan ICW disampaikan karena beberapa alasan. Pertama, Pinangki merupakan penegak hukum. Seharusnya, sebagai penegak hukum, Pinangki melakukan tugas dan kewenangannya dengan baik, bukan menggunakan kewenangan dan otoritasnya demi kepentingan pribadi -- apalagi dalam sebuah kasus hukum.
Kedua, Pinangki terbukti melakukan pemufakatan jahat bersama buronan kasus korupsi terkait pengalihan hak tagi (cassie) Bank Bali, Joko Tjandra dalam proses pengurusan fatwa Mahkamah Agung melalui Kejaksaan Agung. Pemufakatan jahat adalah tanda bahwa Pinangki sebagai penegak hukum sadar dan tahu akan perilakunya. Jika Pinangki dengan tahu dan mau melakukan hal demikian, secara sadar pula Pinangki telah mencederai makna penegakan hukum itu sendiri.
Ketiga, Pinangki menerima uang suap untuk kebutuhan pribadi. Diketahui, Pinangki telah membeli sebuah mobil BMW X-5, melakukan perawatan kecantikan, dan menyewa sejumlah apartemen. Dengan demikian, Pinangki terbukti masuk dalam Tindak Pidana Pencucian Uang. Keberatan-keberatan dan bukti-bukti ini dilihat ICW sebagai bahan materi pertimbangan untuk vonis putusan Majelis Hakim atas kasus yang menimpa Pinangki.
Publik tentunya kecewa dengan perilaku Pinangki sebagai penegak hukum. Untuk itu, atas keberatan yang diajukan oleh pihak ICW, sebaiknya hal ini juga ikut dipertimbangkan dalam sidang putusan yang akan dilaksanakan pada hari ini. Jika ditelisik secara mendalam, tindakan Pinangki sejatinya tak mendukung program dan komitmen bangsa ini dalam memerangi korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Inilah virus (KKN) berbahaya yang sudah diwariskan sejak zaman Orde Baru.
Sebagai Kepala Subbagian Pembinaan Jaksa Agung Muda, Pinangki seharusnya memberikan edukasi yang baik bagi para generasi muda yang tertarik dengan dunia hukum dan mengabdi negeri. Akan tetapi, semua harapan dan komitmen komunal ini, hanya sebatas niat. Ketika kita diberi kekuasaan, semua komitmen dan kejujuran kita justru benar-benar diuji dan kerapkali runtuh.
Siapa yang tak mampu mendengar suara hatinya, ia akan dilahap tawaran menggiurkan. Sedangkan mereka yang kuat komitmen dan suara hatinya, ia akan menjadi model yang patut dijadikan contoh. Putusan terkait dakwaan kasus Pinangki diberikan sepenuhnya kepada Yang Mulia Majelis Hakim.Â
Akan tetapi, pertimbangan lain, dalam hal ini, perlu juga untuk dicermati -- seperti keberatan yang diutarakan pihak ICW. Kritik dan saran tentunya merupakan bagian dari upaya bersama dalam membangun dan menghidupi semangat penegakan hukum di negeri ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H