Jika keringatmu belum kering, jangan mengharapkan upah. Sejatinya, upah diberikan kepada seseorang ketika keringatnya sudah mengering. Upah itu apa? Upah harus dipahami lebih dari sekadar bentuk persetujuan, yakni mengapresiasi dan memberi penghargaan.
"Andaikata, aku melakukannya menurut kehendakku sendiri, memang aku berhak menerima upah. Tetapi, karena aku melakukannya bukan menurut kehendakku sendiri, maka pemberitaan itu adalah tugas penyelenggaraan yang ditanggungkan kepadaku. Kalau demikian, apakah upahku? Upahku ialah aku memberitakan Injil tanpa upah. Dan, bahwa aku tidak mempergunakan hakku sebagai pemberita Injil" (1 Kor 9:17-18).
Bicara soal upah, akhir-akhir ini memang menyentuh aspek "tremendum et fascinosum" (menarik, sekaligus horor). Menarik, tentunya jika upah benar-benar diterima dan sesuai dengan pengorbanan yang sudah dikeluarkan. Akan tetapi, di sisi lain, upah justru menjadi momok menakutkan ketika upah itu sendiri tidak pernah diterima dan tak sesuai dengan - sebanding dengan perjuangan yang sudah dilakukan.
Paulus memberitakan Injil tanpa upah. Ia bekerja di pabrik yang konon didirikan Yesus, tanpa keluhan mengenai upah. Ketika orang-orang di Korintus berselisih-paham mengenai upah, Paulus memberi masukan.Â
Di hadapan Jemaat Korintus, Paulus berbicara dari sudut pandang sebagai seorang pekerja yang konsisten memberitakan Injil. Ia berbagi pengalaman. Ia berbagi tips. Ia menjadi penengah di antara yang berselisih dan berusaha menawarkan solusi (etika dunia kerja).
Jika melihat konteks geografis teks 1 Korintus 9:17-20, Paulus tentunya tengah berbicara dengan mereka yang umumnya berlatar-belakang pebisnis-pengusaha.Â
Di zaman Paulus, Korintus merupakan kota pelabuhan yang sangat ramai. Korintus bisa dikatakan sebagai shelter ekonomi untuk wilayah Afrika dan Asia.Â
Banyak pebisnis dari Eropa masuk ke wilayah bisnis baru (Afrika dan Asia) melalui pintu ekonomi Korintus. Hal yang sama, juga ketika konglomerat dari Afrika dan Asia hendak ke wilayah Eropa. Jalur sutra Korintus tetap menjadi rute andalan. Dengan latar konteks demikian, wajar jika kompetisi dunia kerja dan episentrum ekonomi kala itu berkembang di Korintus.
Jika dicermati lebih mendalam, persoalan-persoalan yang sering muncul di Kota Pelabuhan Korintus memang erat kaitannya dengan hal-hal etis-moral. Perjumpaan banyak budaya di pelabuhan teramai ini, seringkali membuat banyak orang kehilangan nurani dan mudah diinstal trend. Tapi, kali ini Paulus menyentil tema upah dalam dunia kerja.Â
Hal ini penting, mengingat upah merupakan bentuk apresiasi seseorang atas hasil kerja. Saya memberi upah bukan berarti saya melunasi hutang persetujuan dengan orang yang bekerja dengan saya. Akan tetapi, lebih dari itu, upah perlu dilihat lebih jauh makna dan nilainya, yakni apresiasi dan bentuk penghargaan. Lalu, apakah Paulus menolak kerja yang dihargai upah?
Sejatinya tidak. Paulus tetap "menggarisbawahi upah." Kata Paulus: "Upahku ialah mewartakan Injil tanpa upah." Dalam hal ini, Paulus tetap menilai mengenai pentingnya upah. Upahku ialah mewartakan Injil.Â
Paulus dipercaya (dihargai dan diberi apresiasi) untuk mewartakan Injil. Di zaman itu, kepercayaan untuk mewartakan Injil tidak diberikan kepada semua orang. Akan tetapi, Paulus justru diberi kepercayaan. Inilah upah yang sebanding dengan kerja keras Paulus, yakni membuat banyak orang percaya pada Kristus yang bangkit.
Jika demikian, apa hubungannya dengan orang-orang di Korintus? Sudah menjadi rahasia umum bahwa problem mengenai apresiasi dunia kerja disembunyikan oleh kebanyakan perusahaan. Ada begitu banyak orang yang kadang dipekerjakan (laiknya budak), tanpa apresiasi apapun. Bahkan, ada yang bekerja hingga nyawa melayang.Â
Fenomena ini, bisa jadi tetap dihidupi di zaman sekarang. Banyak buruh yang bekerja sehari suntuk ditambah waktu lembur, tanpa diberi apresiasi apapun. Relasi majikan -- buruh, kadang-kadang tregelincir ke relasi tuan-budak.
Ketika relasi dunia kerja antara pemilik usaha dan pekerja jatuh pada relasi tuan-budak, maka apresiasi dengan sendirinya hilang. Dalam relasi tuan-budak, tuan melihat pekerja sebagai mesin yang bertugas menghasilkan dan memenuhi target. Soal nilai luhur martabat manusia, tidak terhitung dalam logika ekonomi sang pemilih usaha. Inilah bahaya laten dalam dunia kerja -- pada zaman Paulus -- yang cenderung didiamkan.
Paulus memahami betul bagaimana logika profitable dari banyak pebisnis di Kota Korintus cenderung merusak moral dan relasi sosial. Di antara kalangan pebisnis, ada begitu banyak orang yang dieksploitasi habis-habisan (tenaga, waktu, kreativitas, keterampilan, harga diri, dan keluarga) demi upah.Â
Tapi, apakah upah benar-benar diterima? Persis inilah persoalan yang hendak dikritisi Paulus. Kepada Jemaat di Korintus, Paulus mengingatkan agar praktik-praktik moral dalam dunia kerja tetap dihidupkan sebagaimana mestinya -- jangan hanya mengejar keuntungan pribadi melulu, tetapi perhatikan juga nasib para pekerja.
Hemat saya, wejangan Paulus, tetap eksis untuk zaman kita sekarang. Etika dunia kerja pada dasarnya adalah memberi apresiasi atas kreativitas dan keterampilan seseorang sambil di saat yang sama, si pekerja mampu mengaktualisasikan diri sebagai makhluk bekerja (homo laborans atau homo faber).Â
Semakin besar pengharagaan atas nilai kerja seseorang, dengan sendirinya, semangat kerja seseorang akan meningkat dan mendapat ruang tuk berkembang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H