Kata to enforce bagi pemikir Prancis Jacques Derrida sudah menunjukkan banyak ketimpangan. Menurut Derrida, ketika kita berbicara tentang hukum, sejatinya kita sedang berbicara mengenai sebuah kekerasan dalam bentuk lain. Hukum yang diterapkan secara tidak adil adalah bentuk kekerasan yang terselubung.
Dalam tradisi hukum, kita mengenal istilah hukum kodrat (natural law) dan hukum positif (positive law). Hukum kodrat melihat kekerasan sebagai sarana untuk mencapai suatu tujuan yang adil. Sebagai contoh, ketika seseorang membunuh keluarga saya, tugas saya sebagai keluarga korban adalah membalas perlakuan pelaku dengan menghabisi pelaku atau salah satu dari keluarga pelaku.
Hal ini dianggap normal karena mengikuti kaidah hukum alam. Maka, dalam tradisi hukum kodrat (natural law), kekerasan adalah sesuatu yang pasti. Kekerasan justru dipertontonkan dalam hukum alam. Orang dengan demikian tidak dibiarkan untuk mengubah perilakunya ketika sudah berbuat salah. Dalam sistem hukum kodrat, kekerasan justru dimungkinkan.
Bentuk kekerasan yang diperlihatkan dalam tradisi hukum kodrat (natural law), mendorong para pakar hukum menemukan model hukum yang rasional, yakni hukum positif (positive law). Hukum ini sengaja dibuat oleh manusia dengan tujuan untuk mencapai keadilan dalam hidup bersama (Theo Huijibers, 1982: 274). Selain itu, hukum positif (positive law), dibuat untuk membendung praktik kekerasan -- tidak seperti halnya dalam tradisi hukum kodrat (natural law). Dengan adanya hukum positif, kekerasan yang tadinya dipertontonkan atau pasti dalam hukum kodrat dihentikan.
Hukum positif berlaku dalam sebuah negara. Proses penetapan hukum positif biasanya hanya melibatkan orang-orang tertentu yang dipercayakan oleh negara, misalnya di Indonesia, lembaga yang menetapkan hukum adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Lembaga ini memiliki tiga fungsi utama, yakni legislasi (legislation), pengawasan (stakeholder) dan anggaran (budgeting). Positivisme hukum mengklaim bahwa rasionalitas yuridis yang beroperasi di dalam hukum dapat membendung pihak yang bertikai untuk tidak mengambil jalur kekerasan (F. Budi Hardiman, 2007: 195).
Positivisme hukum, juga berpendapat bahwa lewat hukum yang adil, kekerasan dapat dibendung dengan menjinakkan kehendak untuk melakukan kekerasan. Gagasan ini tentunya lahir dari sebuah revolusi yang besar. Ketika kita hendak mendirikan sebuah negara atau menetapkan hukum, tentunya ada banyak hal yang dikorbankan. Orang berjuang untuk mencapai kesepakatan bersama dan mengambil langkah bersama dalam menetapkan sebuah aturan yang ditaati untuk kepentingan bersama.
Sebagai contoh di Indonesia, hukum yang lahir setelah era Reformasi adalah aturan-aturan yang dicapai dengan taruhan ribuan nyawa. Dengan kata lain, di tengah momen berdirinya hukum, kekerasan sudah mengintai. Revolusi Prancis juga merupakan contoh momen berdirinya hukum. Revolusi Prancis pecah karena sistem kekuasaan absolut yang cenderung menciptakan kelas-kelas sosial dalam masyarakat. Kaum revolusioner kemudian memaklumkan hak asasi manusia berupa Libert (kebebasan), Egalite (persamaan) dan Fraternit (persaudaraan) sebagai cita-cita yang hendak dicapai. Rentetan kejadian militer dan politis yang mengiringi Revolusi Prancis berimbas pada perubahan di berbagai bidang, antara lain bidang politik, militer, ekonomi dan juga hukum (B Kusumohamidjojo, 2011: 69). Masyarakat Prancis mengalami revolusi berdarah dan darinya hukum ditemukan dan ditetapkan.
Dalam tradisi hukum positif, keyakinan untuk menangguhkan upaya balas dendam dengan menggunakan kekerasan dianggap telah menyelamatkan pihak yang bertikai. Akan tetapi, pertanyaannya adalah bagaimana jika positivisme hukum justru menunjukkan penegakan hukum yang tidak adil? Bagaimana jika penegakan hukum justru hanya bersifat quod scripsi, scripsi (apa yang tertulis, tetap tertulis)? Bukankah hal ini merupakan bentuk lain dari kekerasan? Bagaimana membedakan hukum yang adil dan yang tidak adil?
Kata "enforceability," menurut Derrida, mengingatkan kita bahwa tidak ada satu pun dalam hukum yang ditegakkan tanpa kekuatan, daya atau paksaan. "The word "enforceability" reminds us that there is no such thing as law that doesn't imply in itself, in the analytic structure of its concept, the possibility of being "enforced," applied by force," (Jacques Derrida, 1992: 233). Sejatinya, tidak ada hukum tanpa penegakan dan tidak ada penetapan atau penegakan hukum tanpa paksaan, baik yang bersifat langsung maupun yang tidak langsung, secara psikis atau simbolis.
Lalu, bagaimana membedakan kekerasan yang dianggap adil dan penegakan hukum yang tidak adil? Untuk menjawab persoalan ini, Derrida menunjuk pada sebuah kata dalam bahasa Jerman, yakni kata "Gewalt." Dalam bahasa Inggris dan Prancis, kata "Gewalt" diterjemahkan sebagai kekerasan. Dalam teks Walter Benjamin, Zur Kritik der Gewalt -- yang akan dibahas pada sub bab berikutnya -- diterjemahkan sebagai Kritik atas Kekerasan (Critique de la violence) dalam bahasa Prancis dan Kritik atas Kekerasan (Critique of Violence) dalam bahasa Inggris.
Akan tetapi dalam bahasa Jerman, kata "Gewalt" juga berarti kekuasaan yang dilegitimasi (legitimate power), otoritas (authority) dan kekuatan massa/publik (public force). Maka, kata "Gewalt" itu sendiri memiliki dwi arti, yakni di satu sisi Gewalt berarti kekerasan dan di sisi lain Gewalt berarti kekuasaan yang dilegitimasi atau otoritas yang dibenarkan/mendapat pembenaran. "Gewalt" then is both violence and legitimat power, justified authority, seperti halnya kata "Dike" pada Heraklitus bisa berarti keadilan (justice), hukum (law), hukuman (penalty or punishment).