Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kejahatan dan Penderitaan dalam Konsep Teodise Lebniz

19 Januari 2021   06:48 Diperbarui: 19 Januari 2021   07:09 3409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi konsep teodise. Foto: gesppp.wordpress.com.

Gottfried Wilhelm Von Leibniz lahir di Leipzig-Jerman, pada 1 Juli  1646. Ayahnya bernama Friedrich Leibnutz (1597-1652), adalah seorang profesor filsafat moral di Universitas Leibzig. 

Leibniz belajar membaca dari ayahnya sejak umur tujuh tahun. Leibniz kecil sudah belajar bahasa Latin sejak usia delapan tahun. Pada usia 12 tahun, ia mulai belajar bahasa Yunani. 

Leibniz sangat berminat pada logika (Albert Heinekamp dan Ingrid Dietsch, Leibniz-Bibliographie, 1986). Ia masuk di Universitas Leibzig dan memperoleh gelar Bakeloreat dalam usia 17 tahun. Setelah tamat, Leibniz melanjutkan studi doktoralnya di bidang teologi, hukum, dan kedokteran di Universitas Altdrof.

Leibniz meraih gelar doktor di Universitas Altdrof. Dari sana, ia kemudian tertarik untuk memilih hukum. Ia dianggap seorang genius. Dia menguasai hampir semua ilmu. Leibniz sebenarnya banyak menimba pemikiran dari Baruck Spinoza. 

Pada kesempatan lain, ia menjalin kontak dengan dua orang fisikawan terkenal, yakni Boyle dan Isaak Newton, di kota London. Leibniz yang adalah seorang Protestan juga berusaha menyatukan agama-agama, tetapi usahanya kurang berhasil. Ia meninggal di Hannover, pada tahun 1716 (Robert C. Sleigh, The Cambridge Dictionary of Philosophy, 1999).

Tulisan-tulisan Lebniz yang terpenting adalah Essai de Theodicee la bonte de Dieu, la Libertede l'hommne el Origine du mal (Karangan tentang Teodise, mengenai Kebaikan Allah, Kebebasan Manusia dan Asal Kejahatan -- 1710) dan La Monadologie (1714). 

Sementara karya-karyanya yang lain yang tidak kalah populer adalah Discourse on Metaphysics (Diskursus Mengenai Metafisika), terbit tahun 1686. Dalam buku ini Leibniz berbicara juga tentang eksistensi Allah. Esainya tentang pemahaman manusia terbit pada tahun 1765 dengan judul New Essays On Human Understanding (Kumpulan Esai Terbaru mengenai Pemahaman Manusia).

Leibniz juga menulis buku tentang prinsip-prinsip alamiah dan rahmat yang terbit tahun 1714 di bawah judul The Principles of Nature and of Grace. Dari sejumlah buku itu, kita boleh menyimpulkan bahwa Leibniz adalah seorang filsuf sekaligus teolog. Dia tidak hanya berbicara tentang manusia dan alam semesta, tetapi juga berbicara tentang Tuhan. Melalui konsep teodice-nya orang diantar untuk memahami Allah sebagai pencipta alam semesta, tapi serentak dengan itu Dia memberikan kebebasan kepada alam semesta untuk beraktivitas sesuai dengan hakekatnya.

 

Konsep Teodice

Empat kata kunci untuk mewakili konsep ini, yakni Tuhan, Manusia, Kebahagiaan, Kejahatan, dan Penderitaan. Akan tetapi, tema penderitaan akan saya ulas pada bagian lain.

Tuhan

Leibniz adalah pencipta kata teodise, "pembenaran Allah" terhadap kejahatan. Leibniz mencoba menerangkan bahwa kebaikan Allah tidak bertentangan dengan adanya kejahatan dan bahwa kebebasan manusia tidak bertentangan dengan kemahakuasaan Allah. 

Menurut Leibniz, dari semua dunia yang mungkin, Allah telah menciptakan yang paling baik. Dunia ini merupakan suatu hasil maksimal -- kemungkinan lain itu jelek (Harry Hamersma, 1983). 

Segala sesuatu yang datang dari Allah adalah benar dan baik. Allah menciptakan segala sesuatu baik adanya (bdk. Kejadian 1:1-20) hanya bagaimana manusia sebagai ciptaan berusaha bertanggung jawab untuk memelihara apa yang dipercayakan kepadanyalah yang menjadi sebuah tantangan.

Kaum theis mengatakan bahwa Tuhan itu adalah Ada yang Sadar, yang dapat berpikir, memiliki intensi, berkeinginan serta berkehendak baik. Allah adalah kebaikan yang sempurna. Ini berarti Allah tidak pernah melakukan kesalahan. Semua tindakan dan intensinya selalu benar.

Manusia

Tuhan dimengerti sebagai Sang Creator (Sang Pencipta) dan yang lain selain Tuhan adalah creatures (ciptaan). Manusia adalah hasil ciptaan Tuhan. Karena ciptaan Tuhan, maka manusia tergantung sepenuhnya kepada Tuhan. Relasi antara manusia dan Tuhan adalah relasi ketergantungan. 

Ketergantungan ini -- dalam filsafat Thomas Aquinas dan teologi kristiani (juga teologi agama-agama monotheistik) -- diungkapkan dengan distingsi bahwa Tuhan itu necessarium, sementara manusia itu contingens. 

Tuhan itu prinsip Harus Ada dari segala apa yang ada sedangkan manusia itu sebagai ciptaan -- bisa ada juga bisa tidak. Manusia tidak mungkin ada tanpa prinsip Harus Ada. Tuhanlah yang mengadakan manusia. Lalu bagaimana dengan dunia - relasi antarmanusia dan dunia, dunia dan Tuhan?

Manusia hidup dalam dunia dan menjalankan segala kegiatannya di dalam dunia pula. Kata dunia menunjuk pada alam semesta yang menjadi tempat hidup manusia. Dunia kemudian dipandang jahat secara intrinsik dan tampak dikutuk tanpa mendapat remisi. 

Di sisi lain terdapat pandangan bahwa dunia begitu dekat dengan manusia. Pandanagn ini melihat bahwa dunia yang telah diciptakan ini pada dasarnya baik -- "Ia melihat segala yang diciptakan-Nya itu baik adanya" (Kej 1:1-20). Manusia juga dipandang sebagai mahkluk terbatas. Harus diakui bahwa manusia adalah makhluk terbatas yang tidak tuntas menyelami kehendak Allah.

Sebagai makhluk terbatas manusia hanya mengenal kehendak Allah dalam keterbatasannya itu. Dia tidak bisa menyelami segala yang ada dalam kehendak Allah. Namun, satu hal yang pasti bahwa apa yang dibuat Allah adalah apa yang terbaik yang diberikan untuk manusia dan dunianya. Allah tidak pernah merancang kejahatan untuk dunia.

Kisah Ayub kiranya menjadi contoh yang jelas bagi pergulatan setiap orang beriman menghadapi penderitaan.  Manusia juga dipandang sebagai sebuah persoalan. Hakikat manusia sebagai sebuah persolan ditandai dengan kedinamisannya, adanya misteri, dan paradoksal.

 

Kebahagiaan

Hal yang diinginkan oleh Sang Creator untuk creatures-Nya adalah kebahagiaan. Ini artinya Allah tidak ingin melihat ciptaan-Nya hidup dalam ketidakbahagiaan. 

Menurut Aristoteles, tujuan manusia adalah untuk mencapai kebahagiaan atau hidup yang baik. Kebahagiaan itu haruslah objektif, yaitu hidup yang bermutu dan bernilai yang dibimbing oleh akal budi dan bukan atas dasar nafsu-perasaan senang saja. Kebahagiaan itu harus diperjuangkan. Eudaimonia - istilah yang dipakai Aristoteles dalam menyebut kebahagiaan -- adalah keadaan jiwa yang tidak memerlukan hal-hal material lagi.

Eudaimonia tidak sama dengan kegembiraan psikologis (felicity), kesenangan atau kenikmatan karena mendapat posisi atau berhasil (happiness), dan perasaan senang fisik atau psikologis belaka (pleasure). Kebahagiaan adalah hadiah yang diperoleh manusia ketika berbuat baik. Kebahagiaan bukanlah sebuah teori tetapi merupakan gabungan ide dan perbuatan (unsur tahu-mau). Maka, eudaimonia atau kebahagiaan adalah objek tujuan manusia secara utuh. 

 

Problem Kejahatan

Kejahatan bukan sekedar pelbagai perbuatan bukan baik yang keluar dari hati manusia yang amburadul, melainkan inti keras dan jahat di dalam perbuatan-perbuatan itu. 

Kejahatan bukan sekedar kelemahan seseorang sehingga ia mengikuti nafsu dan emosinya, terbawa oleh rasa dendam spontan, malas dan sebagainya, melainkan sikap jahat sungguh-sungguh sejauh memang termasuk di dalam kelemahan-kelemahan itu. 

Sikap yang betul-betul menolak tarikan hati nurani, yang nekat mau berbuat secara bohong, keji, kejam, tidak adil meskipun menyadari bahwa sikap-sikap itu jahat. Kejahatan adalah apa yang dalam bahasa agama disebut dosa. Mengapa adanya kejahatan menjadi masalah bagi orang yang percaya akan Allah?

Karena Allah adalah yang mahasuci dan membenci kejahatan, lalu mengapa Ia tidak mencegah adanya kejahatan. Bisa dikatakan bahwa Allah secara hakiki memiliki zero-tolerance terhadap kejahatan. Sebagaimana tuntutan hati nurani agar kita memilih yang baik dan bukan yang buruk bersifat mutlak, begitu pula yang jahat mutlak harus tidak ada. 

Dengan kata lain kita dapat memaafkan suatu pembunuhan kalau terjadi karena emosi, atau orang selingkuh karena terbawa oleh hawa nafsunya. Tetapi kejahatan adalah soal lain. Kejahatan terletak dalam kehendak seseorang yang tidak mau bersikap baik. Kejahatan ini selalu jahat dan yang jahat mutlak tidak boleh ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun