"Jiwa seperti apa yang begitu hampa dan buta sampai tak mampu melihat bahwa kaki kita lebih berharga daripada sepatu dan bahwa kulit kita lebih indah daripada kain yang membalutnya."
Kemarin, seingat saya, saya duduk persis di dekat jendela. Sambil duduk termangu, saya melemparkan pandangan ke sekitar tirai penutup jendela yang tak ditarik sepenuhnya ke samping.Â
Di balik tirai ini, ada seekor cicak yang tengah memberi aba-aba pada seluruh kekuatan dirinya untuk menerkam seekor nyamuk. Saya memperhatikan dengan saksama. Teknik cicak memang mengesankan. Meski jurang melebar di depan mata, anggota satuan pembasmi nyamuk ini, berani melompat.
"Hap," nyamuk lenyap.
Usai menangkap dan menelan si mangsa paling gurih yang diberi nama nyamuk, cicak langsung berbalik arah. Takut diketahui banyak mata memandang, ia cepat-cepat kembali ke kerajaan persembunyiannya. Di balik lemari. Di sana, ia merasa bahagia. Ia merasa usahanya berjam-jam menunggu nyamuk mendarat dengan maksimal tak sia-sia. Semuanya terbayar. Meski harus melompat, cicak tahu, strateginya diupah makanan, setidaknya untuk menu makan siang kala itu.
Pengalaman cicak, juga menjadi pengalaman saya. Ketika membaca sebuah buku, saya mendedikasikan waktu berjam-jam, dan bahkan berhari-hari, untuk menghabiskannya. Saya tak berhenti di halaman sekian. Saya tak berhenti membaca di sub bab atau bab tertentu. Semuanya saya lahap. Dan, memang, semua dinamika ini terbayar lunas dengan waktu yang saya pakai tuk sabar membuka halaman demi halaman.
Sensasi membaca, hemat saya, ada pada spasi demikian. Seperti halnya cicak yang setia menunggu helikopter nyamuk mendarat dengan tenang, saya juga berlaku demikian.Â
Di tengah usaha membolak-balik halaman bacaan, memang ada godaan untuk loncat ke halaman berikutnya. Tapi, pekerjaan ini justru membuat saya sia-sia melepas waktu. Ketika saya loncat ke halaman sekian tanpa menyetuh rentetan halaman yang seharusnya, saya justru mengkhianati usaha-usaha saya sebelumnya.
Saya yakin, sebuah buku bacaan, entah apapun jenisnya, mampu mengantar seseorang 'tuk berkelana mengelilingi dunia. Nah, bagi saya, buku itu bak sebuah perusahaan biro perjalanan. Ia menunjuk tempat-tempat mana saja yang bagus untuk dikunjungi. Ia memberi peta perjalanan, sekaligus menunjukkan nama-nama akurat dari setiap destinasi tempat. Jika saya tak setia mendengar dan membaca, saya tentunya kehilangan beberapa pengalaman berharga yang mungkin bagus sekali 'tuk dieksplorasi.
Buku, bagi saya, tak lain adalah kendaraan berpergian. "Book makes me travel around the world without moving my feet." Tanpa harus ke Cina, saya cukup membaca buku tentang Cina. Ceritanya, bahkan lebih penuh dan detail ketimbang saya terjun langsung ke Cina. Saya, boleh jadi, hanya membutuhkan duit Rp 50.000 untuk berpelisaran menikmati Cina dan pesonanya. Jika saya harus ke Cina, tabungan puluhan tahun pun, mungkin tak cukup untuk proses pembiyaan.
Tapi, lagi-lagi, perlu diingat, tak semua orang menyukai kegiatan membaca. Jangankan membaca, buku saja kadang membuat orang malas melirik. Banyak orang tak menyukai strategi cicak melirik dan memangsa nyamuk. Godaanya, ada pada kesabaran. Orang pingin cepat-cepat mengetahui isi buku tanpa menjajaki halaman. Pingin cepat selesai. Padahal ada filosofi lain ketika kita setia mencicipi setiap halaman.
Di sana, sebetulnya kita dididik untuk bersabar. Orang yang betah membaca buku, meski beratus-ratus halaman, saya yakin wawasannya terbuka. Ia tak cepat men-judge. Sikap ini bahkan dipakai terus, ketika ada hal baru atau sama sekali lain menghampiri dirinya. Ia justru terbuka untuk menerima dan menunda tuk memberi penilaian. Itulah sensasi membaca. Seperti cicak menunggu nyamuk, kita ditantang untuk bersabar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H