Melihat paradoks dalam hukum, Derrida kemudian memperlihatkan tiga proposisi, yakni 1) hukum yang dapat didekonstruksi, 2) keadilan yang tidak dapat didekonstruksi, dan 3) hingga menghasilkan sebuah kemungkinan bahwa keadilan adalah dekonstruksi itu sendiri. Menurut Derrida, hukum dapat didekonstruksi. Derrida memperlihatkan dua alasan mengapa hukum dapat didekonstruksi, yakni 1) karena pada momen berdirinya, hukum dikonstruksi dan 2) hukum untuk manusia bukan sebaliknya manusia untuk hukum.
Di samping itu, keadilan sejatinya tidak bisa didekonstruksi. "Keadilan adalah suatu pengalaman yang tidak mungkin," kata Derrida. Kita tidak bisa mengalami keadilan secara penuh. Yang bisa kita alami hanyalah tahap perbatasan, yakni antara apa yang dapat dialami dan apa yang tidak dapat dialami. Kita akan mengalami jalan buntu (aporia) ketika berbicara mengenai keadilan. Untuk itu, Derrida memperlihatkan tiga aporia ketika berbicara mengenai keadilan.Â
Pertama, epoche peraturan (epoche of the rule). Aporia ini memperlihatkan dua tegangan, yakni antara kepastian hukum (calculable justice) dan interpretasi hukum atau rasa keadilan. Pada tahap ini, seorang hakim memutuskan sebuah perkara dengan mengikuti aturan hukum sekaligus menemukan hukum yang baru -- mempertimbangkan rasa keadilan universal. Kedua, kesulitan karena tidak dapat memutuskan (the ghost of undecidability). Dua tegangan yang terjadi dalam aporia ini, antara lain berkaitan dengan keluasan pengertian keadilan dan kesulitan untuk memutuskan.
Dengan kata lain, di dalam putusan yang diambil seorang hakim, tetap ada putusan yang tidak dapat diputuskan. Hal ini bertolak dari ide keadilan yang tidak terbatas. Ketiga, kemendesakan dalam horizon pengetahuan (the urgency in the horizon of knowledge). Hal ini berkaitan dengan tegangan antara tuntutan akan keadilan yang dibutuhkan segera (right away) dan keluasan pengetahuan.
Ketiga aporia di atas, mengantar Derrida pada sebuah kesimpulan bahwa keadilan adalah suatu pengalaman yang tidak mungkin. Keadilan tidak bisa dikonsepkan, didefiniskan dan dipastikan. Maka, keadilan adalah dekonstruksi (justice is deconstruction). Ide keadilan Derrida menunjuk pada beberapa pengertian lain, bahwa keadilan adalah sebuah gerakan yang tidak pernah selesai dalam memperbarui hukum dan keadilan tidak lain merupakan sebuah pemberian (a gift). Sebuah pemberian yang murni (a pure gift) adalah suatu kegilaan. Pemberian yang murni hanya bisa dari pihak Tuhan.
Ada beberapa kondisi yang memperlihatkan pemberian yang murni, yakni 1) suatu pemberian dikatakan a pure gift jika pemberian itu tidak tampak sebagai sebuah pemberian; 2) si pemberi melupakan dengan sengaja apa yang dia berikan; 3) pemberian tidak wajib disertai ucapan terima kasih, karena jika disertai ucapan terima kasih, maka pemberian itu akan masuk dalam lingkaran pertukaran dan 4) pemberian tidak boleh mengingat logika pertukaran (reciprocal). Relasi timbal balik justru dirubuhkan dalam pemberian yang murni.
Ide keadilan Derrida tentunya sangat membantu mereka yang selama mengalami ketidakadilan oleh karena prinsip keadilan-hukum. Keadilan-hukum hanya mengedepankan unsur tekstual daripada aspek kontekstual dari setiap persoalan. Keadilan sebagai pengalaman yang tidak mungkin membantu seorang hakim dalam memutuskan sebuah perkara. Seorang hakim dituntut untuk tidak membuat sebuah putusan hanya berdasarkan aturan hukum atau kalkulasi pasal-pasal.
Putusan yang dicapai melalui aturan hukum tidak lain adalah putusan terprogram. Keadilan pada dasarnya tidak dapat dikalkulasi (uncalculable) dan diprediksi (unpredictable). Di sisi lain, ide keadilan Derrida tentunya akan merusak tatanan yang sudah pakem berlaku dalam sebuah negara. Sebuah negara tanpa hukum tentu akan menimbulkan berbagai ketimpangan. Oleh karena itu, ide keadilan Derrida agaknya sulit untuk diterapkan di negara hukum (Indonesia).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H