Terjaringnya Menteri Sosial Juliari Peter Batubara oleh tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah fenomena janggal dari karakter pemimpin kita.Â
Di atas kekuasaan, hati nurani kadang tak terpakai. Menteri Juliari Batubara hanyalah gunung es yang berhasil dipukat KPK terkait maraknya perilaku koruptif para pejabat negara di rumah kita.Â
Pasti masih banyak oknum yang berlaku seperti Pak Juliari. Hanya saja, KPK perlu melempar kail dan pukat lebih lebar biar "ikan-ikan" lain yang ukurannya lebih gede bisa ditangkap.
Keterangan sementara, sejatinya menjerat Menteri Juliari Batubara dengan bukti menyelewengkan posisinya sebagai kordinator penyelenggara kesejahteraan sosial di tengah masa pandemi Covid-19. Dengan kuasa menteri, Juliari Batubara berusaha "menyunat" sebagian isi kantong kesejahteraan untuk kepentingan pribadi.Â
Tindakan ini dilakukan dengan cara memotong Rp 10 ribu untuk setiap kemasan bantuan sosial. Bandingkan, jika pemotongan ini dilakukan untuk jumlah kemasan bantuan sosial sebanyak 21,6 juta penerima. Tentu saja, angka yang sangat fantastis memenuhi kantong pribadi.
Dari lumbung pemerintah, dana bantuan sosial mengalir dengan pecahan Rp 300 ribu per korban pandemi Covid-19. Itu artinya, pemerintah telah menargetkan bahwa takaran nilai finansial ini mampu memenuhi kebutuhan para korban dan semua korban mendapat jatahnya masing-masing.Â
Jika dilihat sepintas, tugas ini gampang -- cuman membagikan bantuan sosial Rp 300 per setiap kepala keluarga. Apa yang berat, iya kan? Akan tetapi, jumlah duit yang begitu dasyat membuat Menteri Juliari Batubara justru jatuh terperosok. Di hadapan uang, mata kita membelalak. Di hadapan uang, hati kita diselimuti kabut. Dan, di hadapan uang, kejujuran kita ditakar.
Sejak berabad-abad, uang dan kekuasaan adalah dua hal yang tak dapat dilepas-pisahkan. Ada uang, saya berkuasa. Ada kuasa, saya pasti berlimpah uang.Â
Ini pola lama, di mana uang dan kekuasaan bermain di dekat nurani. Jika tak kuat melihat uang, kuasa akan bermain tak sportif. Dan, jika tak serius memegang kuasa, uang akan bertahta. Pada titik ini, uang dan kuasa tak punya ruang untuk berkonsultasi dengan nurani. Kita berkuasa agar memiliki uang dan uang dipakai demi melanggengkan kuasa.
Menteri Juliari Batubara sejatinya tak kuat memegang kuasa. Ia justru berkuasa memegang uang. Di sini, ia melihat sasaran bantuan sosial sebagai pihak tak berkuasa.Â
Ketika kacamata ini dipakai dalam menjembatani proses pendistribusian bantuan sosial, alhasil tindakan menyunat adalah hal biasa. Kuasa menyatuni tindakan menyunat.Â