Suatu ketika, dalam perjalananku menuju kampus, aku dicegat oleh peristiwa yang tiba-tiba memaksaku tuk berhenti mendayung sepeda. Tepatnya di Jln. Kaliurang, seorang mahasiswi jatuh terperosok ke selokan, di seberang jalan.
Suara dentuman motor dan gesekan ban bercampur menjadi satu. Akan tetapi di jalan umum, semuanya tetap sibuk, seolah-olah tak terjadi apa-apa. Apalagi sedang hujan. Cepat-cepat kudatangi si korban.
Ketika kudekati, aku langsung disambut darah segar yang mengalir dari lutut dan bagian mata kaki, si korban. Kuberanikan diri membantunya berdiri. Akan tetapi, anehnya mahasiswi ini malah menanyakan sesuatu yang -- sebetulnya bagi saya menjadi perhatian kesekian ketimbang dirinya.Â
      "Handphoneku mana to, mas? Lecet apa engga sih? Layarnya gimana?"
      "Ada, kok mbak. Nggak lecet kok. Ntar aja baru dicek. Kita beresin dulu lukanya," sergahku penasaran.
Saya merasa terganggu dengan pertanyaan perempuan ini. Ketika sesuatu menimpa dirinya -- nyawa melayang sekali pun -- ia bersikeras untuk menanyakan sesuatu yang tidak penting, yang sebetulnya bukan bagian dari aksesoris dinamika kehidupannya. Ya gadget.
Gadget berubah menjadi makhluk -- siapa -- yang harus diselamatkan. Dulunya menjadi sarana mempermudah komunikasi, kini berubah menjadi sahabat baru yang tak lekang oleh waktu dan bahkan menjadi sesuatu yang bernafas dan perlu dicover. Apa menjadi siapa. Ironis.
Manusia menjadi budak teknologi. Bagi orang yang supersibuk, gadget bisa menjadi malaikat pencabut nyawa. Sekarang lagi nge-trend-nya nyetir sambil balas WA, facebook, instagram, dll., yang berbuntut patah kaki, patah tangan, kepala remuk digilas mobil, nabrak orang, nabrak tiang listrik, dan aneka model kecelakan era digital lainnya.
Pertanyaannya sekarang -- di era log in dan log out -- apa yang bakal diselamatkan? Pertanyaan ini bergeser dari pertanyaan manusiawi: "Siapa yang hendak diselamatkan?"
Pergeseran model pertanyaan ini beranjak dari kursi realitas hidup manusia abad ini. Semua menenteng gadget. Di rumah ibadah atau tempat sakral sekalipun.
Jika semua orang masing-masing memiliki sesuatu -- barang kesayangan -- yang diperjuangkan untuk diselamatkan, apakah kita masih bisa berbicara mengenai keselamatan jiwa atau sesama ciptaan.
Sekarang muncul sila ketiga yang baru: Prike-hewan-an -- ke mana-mana, orang membawa anjing-kucing kesayangannya. Realitas ini memeperlihatkan bahwa manusia tidak lagi menjadi prioritas untuk diselamatkan.
Bahkan gagasan keselamatan era digital ini, dibawa serta hingga ke liang lahat. Misalkan saja, seorang yang kaya raya meninggal dan dikuburkan bersama barang-barang kesayangannya, samsung, asuz, lenovo, hp, dan thosiba.
Semuanya adalah bekal sekaligus sesuatu yang perlu dan wajib untuk diselamatkan. Bila perlu dimasukkan dalam list wasiat. Manusia pun diselamatkan oleh gadget dan barang-barang berkeringat teknologi lainnya.  Â
Hemat saya, seharusnya, semakin maju peradaban, semakin maju pulah cara berpikir seseorang. Kehadiran kita, sejatinya harus menjadi the fifth Gospel (Injil kelima) dalam hidup bersama, bukan malah meninggratkan perilaku egois. Kita perlu menjadi perintis jalan bagi sesama dengan nasihat dan laka-laku yang baik. Bukan malah menjadi budak perkakas teknologi.
Secanggih apapun teknologi, tidak akan pernah menyelamatkan manusia. Makhluk yang bernama manusia yang bisa diselamatkan oleh una porta, yakni Tuhan Sang Mahakuasa. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H