Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Natal, Pandemi, dan Yesus dalam Simponi dan Melodi

29 Desember 2020   21:10 Diperbarui: 29 Desember 2020   21:21 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sederhana itu mahal. Itulah pernyataan yang mungkin bisa dikemas jika menyaksikan film "Jesus Christ Superstar." Yesus jarang terlihat santai, atau bahkan tertawa pun tidak. Ia selalu tampil serius. Akan tetapi, dalam cerita layar, Yesus hadir santai memakau dan terlihat berkharisma. Ia bahkan beberapa kali bernyanyi ala rock & roll dan sempat duet dengan Maria Magdalena dan Yudas Iskariot.

"Jesus Christ Superstar" mengisahkan Yesus Kristus dengan "funky." Inilah film musikal yang menampilkan keagungan Yesus secara santai, "ngepop," "nyeleneh," dan menjadi karya klasik yang terus diburu penonton hingga sekarang. Kisah "Jesus Christ Superstar" dibuka dengan dentuman musik di padang gurun. Sebuah bus tua meluncur di atas jalan berdebu yang melintasi padang gersang, berbatu, dan dikelilingi bukit.

Debu berterbangan bercampur-baur dengan asap knalpot bus disarati properti dan para pemeran film itu. Tak lama berselang, bus itu tampak menepi. Penumpangnya berhamburan berlari menuju sebuah bukit. Kamera menyorot seorang pria kulit hitam yang tengah berdiri di pucuk bukit. Musik pembuka pun membahana. Dan, film musikal Jesus Christ Superstar bergulir.

Seorang pria Afro-Amerika, lalu dikenal sebagai Yudas Iskariot -- diperankan oleh Carl Anderson -- kemudian menyanyikan "Heaven on Their Minds." Dia mengenakan cutbrai merah menyala dan bernyanyi di bawah langit yang biru, kontras dengan warna kulitnya yang hitam aspal. Yesus mengenakan jubah putih, gondrong, dengan wajah polos dan suci. Yudas memperingatkan Yesus Kristus -- dimainkan oleh Ted Neeley -- bahwa rakyat akan membunuh-Nya jika ternyata apa yang diucapkan-Nya tentang Tuhan adalah salah.

"Dengarkan Yesus, aku ingin agar kita semua hidup. Tapi aku cemas karena kesempatan menikmati kehidupan itu kian menipis setiap jam. Semua pengikut-Mu telah tenggelam dalam lamunan tentang surga. Dengarkan Yesus, aku kecewa dengan apa yang kulihat. Apa yang kuharapkan sekarang dari-Mu adalah dengarkanlah pendapatku. Dan, ingatlah bahwa aku adalah tangan kanan-Mu."

"Mereka telah menganggap menemukan seorang Messiah baru. Tapi mereka akan membunuh-Mu jika akhirnya, mereka merasa anggapan mereka itu salah." Dari lirik-lirik seperti itulah film drama musik karya Norman Jewison memulai dirinya. Film yang diproduksi pada 1973 itu merupakan adaptasi dari rock opera mahakarya Andrew Lloyd Webber dan Tim Rice.

Alur cerita Jesus Christ Superstar tak berbeda dengan kisah Yesus Kristus atau Isa Almasih yang termuat dalam Kitab Suci. Film musikal ini menyajikan cerita tentang tujuh hari kehidupan Yesus menjelang penyaliban di Bukit Golgota. Dan seperti opera klasik dengan penyanyi tenor dan sopran, film musikal ini disusun tanpa dialog. Komunikasi antara pelakon yang satu dan yang lainnya berlangsung dalam bentuk musik dan lagu serta iringan "modern dance."

Ekspresi wajah para pelaku hanya menonjol jika mereka tampil dalam nyanyi solo. Yang menarik adalah bagaimana tafsiran Norman Jewison beserta Andrew Lloyd Webber dan Tim Rice terhadap sosok agung yang dalam film-film selalu terlihat sakral ini. Karena ini adalah sebuah "opera rock," di mana Yesus tampil "funky" -- sebagai seorang anak muda yang kharismatis dan lebih mirip superstar -- Ia kemudian digotong para pengikut-Nya yang memanggilnya "J.C", yakni singkatan dari Jesus Christ.

Yudas mengharu-biru, Maria Magdalena tampil dengan rayuannya, dan kaum Farisi juga tampak seperti "geng" berbaju hitam yang teatrikal. Secara keseluruhan, baik kostum maupun musik film -- juga pertunjukkannya di Broadway, New York -- lebih memperlihatkan tren di zamannya, tahun 1970-an, masih penuh dengan remah-remah generasi "hippies" yang merasuki tahun 1970-an yang mengalami pancaroba. Hasilnya memang bukan debat biblikal atau kontroversi, seperti beberapa tafsiran film tetang Yesus lainnya. Fantastik, dan santai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun