"Dear Cristianto, there is her freedom and her obedience, they act together," Ivana Noble.
Kalimat ini merupakan catatan pamungkas antara Profesor Ivana Noble dan saya dalam dialog singkat soal Maria -- tepatnya soal ketaatan Maria. Ivana adalah pengajar di Charles University, Prague, Republik Ceko. Menurut Ivana kebebasan dan ketaatan adalah dua unsur yang saling terkoneksi (they act together).
Dalam kebebasan, ada unsur ketaatan yang mengimbanginya. Orang benar-benar dikatakan bebas justru ketika ia menaati pilihannya untuk bebas. Maria menerapkan kode-kode interaksi yang lazim dalam perjumpaannya dengan utusan Tuhan dengan berdialog plus taat.Â
Maria Terkejut. Reaksi spontan yang diperlihatkan Maria -- "Maria terkejut mendengar perkataan malaikat itu" (Luk 1:29) -- adalah hal lumrah, manusiawi. Reaksi manusiwi adalah tanda bahwa Maria adalah perempuan normal. Ia menyadari suatu bentuk interaksi yang sama sekali baru saat itu, dimana sosok yang berhadapan langsung dengannya adalah asing.
Reaksi terkejut juga merupakan sebuah kelola emosional yang mengantar seseorang dalam menentukan sebuah pilihan keputusan. Maria memberontak. Ia menyadari sosok yang asing. Rasa terkejut ini pun kemudian difollow up dengan pertanyaan, ".....lalu Maria bertanya dalam hatinya, apa arti salam itu?" (Luk 1:29).
Inilah pertanyaan pembuka Maria. Apa arti sesungguhnya salam itu? "Salam, hai engkau yang dikarunia, Tuhan menyertai engkau" (Luk 1,28). Pertanyaan Maria tentang arti salam, sejatinya membuka dialog panjang sekaligus intens antara dirinya dan si pembawa pesan. Maria merasa perlu untuk menelusuri kekuatan kata "salam" dengan kekayaan kata yang mengapitinya, yakni "engkau yang dikarunia, Tuhan menyertai engkau."
Oleh karena itu, Maria tidak mau berhenti di permukaan dengan menelan begitu saja pola interaksi pada prolog pembicaraannya dengan malaikat Gabriel. Artinya apa? Hal ini, hemat saya menunjukkan bahwa Maria senantiasa bergerak ke depan. Ia membuka sebuah kanal untuk dialog, di mana pihak-pihak yang terlibat di dalamnya bebas berargumentasi. Reaksi Maria, sekali lagi, adalah sebuah pola keterbukaan dalam membangun relasi.
Dialog pun kemudian dibuka. Kesediaan Maria untuk mendengar berita misterius yang disampaikan malaikat Tuhan merupakan ciri pemberian diri. Ketika Maria merenung-renung dalam hati, penjelasan panjang malaikat Tuhan bahwa ia akan mengandung dan melahirkan seorang anak (Luk 1:30-34), akhirnya pelan-pelan dikemukakan. Semua penjelasan utusan Tuhan direnung dan diresapi. Tak sekadar ditelan.
Pengelolaan batin atas tanggung jawab yang diterima melalui sabda seorang utusan Tuhan berujung pada sebuah keberanian untuk bertanya. "Bagaimana hal itu bisa terjadi, sementara aku belum bersuami?" (Luk 1:34). Pada bagian prolog, Maria hanya memendam pertanyaan atas peristiwa misterius yang dialaminya di dalam hati. Ia takut. Ia gugup.
Akan tetapi, pada percakapan berikutnya, ada keberanian yang terlihat. Maria mulai memberontak. Reaksi Maria adalah suatu bentuk penolakan. Bentuk penolakan ini, hanya saja dikemas dalam sebuah pertanyaan manusiawi: "Bagaimana hal itu bisa terjadi?"
Suatu tindakan memberontak adalah sebuah dorongan untuk memahami. Rasa ingin tahu (curiosity) ditunjukkan Maria dengan menciptakan pertanyaan menantang. Maria dihadapkan pada istilah-istilah baru yang tidak pernah didengar, yakni Roh Kudus dan nama Yesus. Bisa dipahami bahwa istilah Roh Kudus di zaman Maria mungkin belum terlalu dikenal, sebab kehadiran Roh Kudus benar-benar terlihat pasca kebangkitan Yesus (Kis 2:1-13).
Berhadapan dengan istilah-istilah baru seperti ini, Maria lantas memberontak. Space dialog untuk mendapat kejelasan informasi dan tanggung jawab yang akan dibuat adalah hal penting yang harus dihidupinya. Oleh karena itu, Maria memberanikan diri untuk menelisik lebih dalam. Dalam salah satu dokumennya Evangelii Gaudium (Sukacita Injil), Paus  Fransiskus menunjukkan peran Maria sebagai pewarta yang baik.
Paus memperlihatkan bahwa Maria adalah sosok yang telah berupaya berbagi sejarah dengan umat Allah yang telah menerima Injil (EG, 286). Tanpa sosok seperti Maria -- kesediaan untuk mengandung, merawat, melahirkan dan mendidik -- kita mungkin tidak sampai pada kedekatan yang intim dengan Kristus. Berkat Sabda yang menjadi daging (inkarnasi), kita mengalami Kristus.
Dan, penjelmaan ini (inkarnasi) nyata dalam tabernakel rahim Maria dengan durasi sembilan bulan. Waktu sembilan bulan tentunya menjadi kesempatan memperdalam relasi dengan Kristus. Dalam rentang sembilan bulan, Maria selalu berdialog dengan Yesus sebagai sakramen Allah yang ditempatkan dalam tabernakel rahimnya.
Lalu, Maria disebut model dialog? Rentetan percakapan Maria dalam dialognya bersama utusan Tuhan adalah kontribusi penting dalam proses interaksi dewasa ini. Dalam perjumpaan, kejutan-kejutan dan peristiwa-peristiwa misterius yang dialami Maria merupakan fenomena yang kerapkali mengantar orang pada penentuan sebuah keputusan (decision). Teologi feminis mulai mengembangkan model dialog ala Maria untuk memperjelas posisi perempuan dalam sejarah keselamatan.
Sampai di sini, saya keburu lelah. Saya memilih istirahat sejenak untuk memberi penjelasan. Soal bagaimana teologi dialog ini diberi penekanan dan penjelasan lebih, saya perlu rehat. Agaknya, tak cukup mengantar sampai di sini. Tapi, saya yakin, jika Anda membaca dan mengendapkan kisah dialog Maria dan Malaikat Tuhan, Anda pasti tak akan buru-buru untuk ke belakang dan memilih rehat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H