Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Adakah Sesuatu yang Baik Datang dari Pilkada 2020?

19 Desember 2020   17:15 Diperbarui: 20 Desember 2020   05:50 1037
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Idealnya seorang pemimpin haruslah berjiwa pelayan, bukan berjiwa tamak, rakus, munafik, dan pembohong. Etika seorang calon pemimpin perlu diukur dengan kata kunci seperti merakyat, jujur, transparan, menderita, rela berjuang. Serta komponen tambahan, seperti kemampuan berbicara, penampilan, skill untuk memimpin, visi-misinya, mampu menjadi rekonsiliator yang bijaksana dalam berbagai persoalan dan kejanggalan dalam rimba birokrat.

Prospeknya, kita membutuhkan orang-orang yang serius dalam menakhodai bangsa ini. Tujuannya pasti dan arahnya jelas, yakni menuju Indonesia yang berkualitas.

Semua orang bisa menjadi pemimpin jika tujuannya hanya untuk mengeruk kekayaan sebesar-besarnya, seperti beberapa serigala birokrat abad ini. Ironisnya, banyak tunas muda yang masih mengadopsi gaya memimpin pendahulunya yang kerap ditayangkan di depan publik.

Wibawa seorang pemimpin kadang ditakar dari kekayaan yang dimiliki. Cara berpikir seperti ini bak diindoktrinasi pada setiap calon pemimpin yang lahir dari rahim lebar dan elastis.

Kadang kita mendengar atau menyaksikan upaya bagi-bagi kekuasaan di kalangan keluarga. Korupsi, kolusi, dan nepotisme pun tak terhindarkan.

Banyak orang berambisi untuk memimpin sebuah institusi atau negara tanpa memahami dan mencintai apa yang dijanjikan. Pertama-tama orang selalu mencari kedudukan paling atas agar disegani dan dihormati oleh sesama. Yang kedua kekuasaan yang membuat seseorang cenderung otoriter dan merasa akusentrisnya tinggi. Potensi untuk jatuh pada kejahatan sangatlah mungkin.

Ketiga adalah kekayaan meterial. Kekayaan material membuat sesorang jatuh pada habitus penyembahan berhala dan selalu fokus pada apa yang dimiliki dan dikejar secara material ketimbang perhatian terhadap sikon bangsa yang dikendalikannya. Urusan keluarga dan pribadi didahulukan, yang lain persetan.

Seorang pemimpin masa depan seyogianya harus mempunyai rasa simpati dan empati terhadap sesamanya. Ruang lingkup rasa empati dan simpati seorang pemimpin harus menembus batas keindividuan, kekeluargaan, juga kekerabatan.

Orang harus mampu keluar dari triad zona ekstrem di atas. Seorang pemimpin lahir dari rakyat, diangkat oleh rakyat, dengan harapan merakyat.      

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun