Pelanggaran terhadap prinsip vulnerability dalam berbagai riset biomedis pada umumnya terjadi karena pelaku riset menggunakan orang-orang yang vulnarable sebagai subjek penelitiannya tanpa informed consent yang baik dan benar. Misalnya, kasus tuskegee syphilis experiment.Â
Kegiatan ini adalah sebuah penelitian mengenai penyakit sipilis yang terjadi pada tahun 1932 -- 1972. Percobaan ini terjadi di klinik Tuskegee yang sekarang menjadi Universitas Tuskegee di Alabama, Amerika Serikat.
Selama 40 tahun, penelitian itu telah melibatkan 600-an laki-laki negro yang miskin dan tak berpendidikan. Mereka dibagi dalam dua kelompok, yakni 399 orang sebagai kelompok percobaan yang dijangkiti sipilis dan tidak dilakukan terapi, dan sisanya adalah kelompok kontrol yang tidak terjangkit sipilis.Â
Mereka yang dipakai sebagai kelinci percobaan tidak diberi tahu bahwa mereka sedang dijadikan bahan percobaan ilmu kedokteran.
Apa itu prinsip vulnerability?
Kata vulnerability berasal dari bahasa Latin vulnerabilis, dengan kata kerjanya vulnerare yang berarti melukai atau kata bendanya vulnus yang berarti luka -- kemudian mendapat arti rentan terlukai.Â
Dalam bahasa Inggris vulnerable berarti lemah, rentan, mudah diserang, mudah kena ancaman, atau suatu keadaan rentan terhadap suatu bahaya karena keadaannya dari dirinya sendiri tidak mampu melakukan perlawanan.
PBB mendefinisikan vulnerable sebagai suatu keadaan yang terpapar secara tinggi kepada resiko tertentu, yang dikombinasikan dengan kurangnya kemampuan untuk melindungi diri untuk melawan resiko tersebut.Â
Istilah rentan dalam pemakaian kata vulnarable bisa diakibatkan oleh cacat, lingkungan kumuh, ketidakadilan sosial, masalah gender, keadaan (miskin, bodoh) atau karena relasi yang mendominasi, misalnya antara dokter -- pasien, atau dosen -- mahasiswa.
Jika seseorang mampu melindungi diri, ia bukan seseorang yang dikatakan vulnerable. Contohnya, Ahok. Dalam menjalankan bisnisnya dengan pengusaha-pengusaha lain, ia tidak bisa disebut vulnerable, jika ia tidak mampu bersaing.Â
Sedangkan, jika ia berhadapan dengan para ulama -- dari kalangan Islam -- Ahok dalam hal ini dikategorikan sebagai seseorang yang vulnerable.Â
Definisi mengenai vulnerability tidak bisa dirangkum dengan mudah karena beragam kriteria yang mengapitinya, yakni bisa menyangkut aspek biologi, kesehatan sosial, ekonomi, psikologi, karakter kultur, dan sebagainya.
Stuasi vulnarable bisa mengenai seseorang atau sekelompok orang. Orang-orang yang masuk dalam kategori ini adalah orang cacat, orang sakit, orang yang sudah tua, wanita mengandung dan janinnya, anak-anak di bawah umur, dan sebagainya.Â
Sedangkan kelompok yang masuk vulnerable adalah orang miskin, orang yang tidak berpendidikan, orang yang dipenjara, kaum minoritas, dan sebagainya.
Dewasa ini, masalah kerentanan (vulnerability) menjadi sangat penting karena mempunyai dampak etis dan hukum yang serius. Di satu pihak masalah kerentanan menjadi bagian integral kodrat manusia dimana manusia adalah makhluk yang tidak sempurna dan di sisi lain, kerentanan justru seringkali dimanfaatkan dan dieksploitasi oleh orang-orang tertentu untuk mencari keuntungan pribadi atau kelompok, juga demi keuntungan ilmu pengetahuan.Â
Vulnerability juga sering muncul sebagai masalah etis karena pelanggaran atas prinsip vulnerability merupakan pelanggaran hak manusiawi (human right).
Prinsip vulnerability dikembangkan dan dipakai untuk melindungi mereka yang tidak terjangkau oleh prinsip otonomi karena mereka tidak bisa membuat informed consent secara baik dan benar. Mereka ini sering menjadi korban kekerasan, dieksploitasi, disingkirkan dan diabuse.Â
Pada dasarnya, semua orang harus menghormati keputusan yang dibuat seorang individu untuk dirinya sendiri, meskipun keputusan itu dipandang salah oleh orang lain. Masing-masing berhak menjadi tuan atas dirinya sendiri.
Akan tetapi, prinsip otonom ini mengandaikan yang bersangkutan memiliki prasarana (pengetahuan dan kebebasan) dan sarana sehingga mampu mengambil keputusan dengan baik dan benar.Â
Salah satu perwujudannya adalah pemberian informed consent. Berhadapan dengan mereka yang tidak memiliki prasarana (miskin atau bodoh), diperlukan perlindungan khusus mengenai kepentingan dasarnya (vulnerable person needs special protection).Â
Pelanggaran terhadap prinsip vulnerability terjadi dalam berbagai riset biomedis karena mereka menggunakan orang-orang yang vulnarable sebagai subjek penelitiannya tanpa informed consent yang baik dan benar.Â
Misalnya, peristiwa tuskegee syphilis experiment. Kegiatan ini adalah sebuah penelitian mengenai penyakit sipilis yang terjadi pada tahun 1932 -- 1972. Percobaan ini terjadi di klinik Tuskegee yang sekarang menjadi Universitas Tuskegee di Alabama, Amerika Serikat.
Selama 40 tahun, penelitian itu telah melibatkan 600-an laki-laki negro yang miskin dan tak berpendidikan. Mereka dibagi dalam dua kelompok, yakni 399 orang sebagai kelompok percobaan yang dijangkiti sipilis dan tidak dilakukan terapi dan sisanya adalah kelompok kontrol yang tidak terjangkit sipilis. Mereka yang dipakai sebagai kelinci percobaan tidak diberi tahu bahwa mereka sedang dijadikan bahan percobaan ilmu kedokteran.
Mereka hanya tahu bahwa mereka mempunyai darah yang buruk (bad blood) yang dalam alam pikir mereka menjadi penyebab banyaknya penyakit, antara lain sipilis, anemia, cepat capek, dan sebagainya. Mereka yang ikut dalam percobaan tidak diberi perawatan intensif.Â
Mereka hanya mengadakan pemeriksaan untuk diketahui perkembangan lanjut dari percobaan tersebut. Karena banyaknya korban, percobaan ini pun dihentikan.
Atas persoalan ini, pada tanggal 16 Mei 1997, Presiden Bill Clinton, sebagai wakil pemerintah menyampaikan permohonan maaf kepada komunitas orang hitam khususnya kepada para keluarga yang mati dalam percobaan tersebut.Â
Kasus Tuskegee inilah yang mendorong pemerintah Amerika membuat aturan mengenai riset biomedis dengan mempergunakan manusia. Aturan ini kemudian dikenal dengan nama Belmont Report (1978).
Secara singkat, prinsip respect for human vulnerability ini bisa dikatakan bahwa orang yang kuat wajib melindungi yang lemah dan tidak boleh mempergunakan kerentanannya untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau memperdaya orang lain.Â
Dalam bioetika, prinsip vulnerability, ingin menggarisbawahi bahwa tujuan akhir ilmu pengetahuan dan teknologi bukanlah demi keuntungan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri, melainkan untuk kesejahteraan manusia. Kerentanan manusia adalah ciri kodrati seorang manusia. Contohnya, kenapa kuliah atau proses belajar mengajar tidak diadakan di alam terbuka atau lapangan. Alasannya, karena manusia itu rentan.
Penerapan
Penerapan prinsip kerentanan ini harus dilakukan dalam segala bidang. Mereka yang mengalami kerentanan (vulnerable) harus mendapatkan perlindungan khusus justru karena kerentanannya.Â
Dalam praktik medis, kerentanan yang dialami seseorang bisa ditimbulkan karena kurangnya pemahaman (mudah tertipu), oleh sakitnya atau karena faktor sosio-ekonomis.Â
Perangkat hukum dan etika dalam melindungi mereka yang vulnerable ini adalah dengan prinsip utama, yakni "respect for human vulnerability and personal integrity."
Berhadapan dengan kasus aborsi, yang disebut vulnerable adalah janin yang belum bisa memutuskan apapun untuk memilih hidup atau mati.Â
Janin adalah orang yang paling lemah di antara yang paling lemah karena dia tidak bisa membela dan mempertahankan diri sama sekali, bahkan dengan cara sederhana pun, seperti menangis, dia juga tidak mampu melakukannya. Menangis adalah cara mempertahankan diri yang paling alamiah, primitif, dan sederhana.
Maka prinsip respect for human vulnarability adalah orang yang kuat wajib melindungi yang lemah. Di sini yang dimaksudkan dengan vulnarable yang datang dari luar subjek adalah berkaitan dengan relasi yang saling mendominasi, misalnya antara guru dan murid, dosen dan mahasiswa atau dokter dan pasien. Ketidaktahuan akan menjadi biang kerentanan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H