Aku semakin ditinggal jauh dari refleksi holistik mengenai manusia. Ada manusia di sekitar lingkungan, yang kita cap "kurang waras." Mereka tak mudah didekati. Mereka sama sekali lain. Akan tetapi, mereka ada. Semakin aku berpikir tentang mereka, semakin aku menjumpai kebuntuan. Aku kemudian beralih profesi sebagai pengagum mereka. Aku dan kewarasanku.
Saat pandemi Covid-19 menerpa, orang-orang yang tadinya kusebut orang khusus, tak diserang virus apapun. Mereka ke mana-mana, tanpa masker. Mereka makan dengan tangan tak dicuci. Mereka tidak bermasker. Mereka tak dikarantina. Mereka justru sehat walafiat.
Awalnya bagiku, orang yang kehilangan akalnya pun sebenarnya mereka masih dalam kondisi berpikir. Berpikir mengenai dunia yang berbeda dengan cara berpikirnya orang normal, tertawa dengan lawakan yang berbeda dengan orang normal, dan berbincang dengan bahasa alam. Aku lebih suka menyebut mereka dengan sebutan manusia khusus daripada orang gila, karena bagiku mereka memiliki kemampuan 'menafsirkan dunia' dengan cara mereka sendiri.
Mungkin saja dalam obrolan mereka dengan dunianya, mereka membicarakan negara dan orang-orang sekitarnya. Menertawakannya dengan tawa ejekan, yang tidak pernah kita tahu. Atau jangan-jangan, mereka sedang merencanakan untuk membangun kehidupan dunia yang sangat mengagumkan yang belum pernah terpikirkan. Who knows?
Namun yang jelas manusia khusus ini adalah manusia yang sungguh hebat, tak pernah sakit, walau makan minumnya tak layak, bahkan kadaluarsa. Tak pernah sakit walau pakaian mereka minimalis dan kotor, seakan-akan kuman dan bakteri adalah sahabat karib mereka, seakan-akan hujan dan terik adalah berkah yang memanjakan mereka.
Lalu yang ada dibenakku, kenapa mereka harus dibedakan dengan manusia lainnya, bahkan dimarginalkan dari kehidupan manusia normal? Apa yang membedakan mereka dengan kita? Kenapa kita tidak pernah bisa berdamai dengan mereka, ataukah mereka yang tidak pernah bisa? Lalu, jurang apa yang memisahkan manusia ini dengan manusia itu?
Semakin jauh aku berpikir, semakin mudah aku menyangkal anggapan awalku, bahwa 'orang gila sebenarnya masih dalam kondisi berpikir' adalah salah. Hal ini, dilatabelankangi oleh karena aku tidak bisa menemukan hal yang bisa aku identifikasikan sebagai sesuatu yang membedakannya dengan manusia berpikir.
Dan, bahkan yang dinamai pikiran itu, juga tak pernah aku temui wujudnya. Itu artinya, aku pada akhirnya setuju bahwa mereka berbeda dengan manusia pada umumnya, sebab mereka tak mampu memahami kita dan kita pun kesulitan memahami mereka. Akhirnya, aku menyerah untuk ada di pihak mereka, dan terpaku pada jawaban umum bahwa "manusia khusus itu bukan bagian dari manusia yang berpikir, karena mereka kehilangan akal sehatnya."
Aku teringat tentang bagaimana cara aku berpikir ketika masih kecil. Aku berpikir tentang bagaimanakah Tuhan menciptakan hujan? Dan, aku sendiri menjawabnya dengan imajinasi liarku, mungkinkah hujan turun saat Tuhan sedang mandi? Atau mungkin saja Tuhan sedang menyirami tanaman-tanaman di bumi dengan selang air yang begitu besarnya.
Aku menganggap, contoh ini adalah analogiku yang mungkin hanya analogi bodoh. Mungkin saja, manusia khusus itu menggunakan akal pikirannya dengan cara yang sama dengan anak-anak kecil pada umumnya. Menjawab permasalahan-permasalahan yang ditemuinya dengan cara yang ia mau, mengimajinasikan hal-hal yang baginya akan terkesan cocok, baginya bukan bagi kita pada umumnya. Permasalahan baru muncul, kata 'baginya bukan bagi kita pada umumnya' menurutku mencerminkan sifat dasar alamiah manusia sebagai makhluk sosial, tak dapat dipungkiri, manusia tidak dapat hidup tanpa manusia lainnya.
Dan, hal ini mengimplikasikan bahwa manusia mau tidak mau harus mengikuti semua petunjuk dan arahan agar dirinya dapat 'diterima keberadaannya' dalam suatu komunitas. Hal inilah yang juga akhirnya membuat adanya 'persepsi umum' tentang sesuatu. Persepsi umum ini membuat norma-norma yang melimitasi manusia untuk tidak melakukan atau menerima sesuatu yang tidak boleh diterima bagi kelompoknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H