Budaya diperjualbelikan, ekspektasi tunas muda mengambang.
Di era serba digital ini, siapa saja boleh mengklaim sesuatu itu (entah barang, tradisi atau hal semacam) milikku atau milik kami. Orang dapat dengan mudah meyakinkan siapa saja yang berusaha mempertanyakan sesuatu yang menempel pada dirinya, walau sesuatu itu jelas-jelas bukan miliknya.Â
Tradisi tidak lagi mampu dijadikan tol untuk mewariskan serta memberi proteksi terhadap sesuatu. Untuk kaum berduit, yang doyan traveling atau wisata budaya khususnya orang asing, tradisi atau kebudayaan yang mulanya menjadi ciri khas atau our heritage dari suatu wilayah atau negara, bisa berpindah tuan hanya karena getol belajar, mencari tahu serta berlatih dari sang pelancong budaya itu sendiri untuk sesuatu yang baru itu.
Masih bugar di benak kita tentang kasus diakuinya salah satu tarian milik Indonesia sebagai budaya negara tetangga. Kasus ini pernah disyairkan oleh Saikojy dengan judul 'You Copy My Style, You Copy Again'. Budaya tersebut tidak lain adalah seni tari asal Pulau Bali, Tari Pendet. Pemerintah dinilai kurang berstamina dalam menanggapi masalah tersebut dan hal itu membuat banyak pihak 'berkabung' khususnya penduduk Bali dan para pencinta seni.Â
Pemerintah memiliki banyak "PR" dalam mengurus budaya yang kian hari kian surut. Sedikit dari seni dan budaya yang sudah dipatenkan menjadi milik Indonesia resmi. Dalam arti lain banyak seni dan budaya Indonesia yang belum dipatenkan dan ini membuka peluang untuk dipatenkan negara lain yang lebih menghargai seni dan budaya tersebut. Sebagai pemilik harta, kita dinilai masih menjadi orang yang hanya tahu posting, tetapi minim perangkat security.
Selain Bali, kota yang juga dikenal baik oleh dunia sebagai kota kaya budaya adalah kota Yogyakarta. Yogyakarta disemat kata 'istimewa' justru karena warna kulturnya yang memancing kelima indra untuk melahapnya. Jogja kaya akan tarian tradisionalnya, sajian menu makanan khasnya, serta keistimewaan istana Kraton. Orang berlomba-lomba untuk datang ke Jogja, menempatkan Jogja sebagai tempat tujuan liburan - menandakan Jogja itu istimewa. Selain budayanya, orang-orang Jogja juga dikenal 'istimewa'.
Namun, di tengah 'euforia' Jogja akan kekayaan budayanya itu, orang-orang Jogja tidak sadar kalau kekayaan budayanya itu mulai berpindah tuan, hanya karena cara mentransformasikan heritagenya yang kurang runcing. Wisatawan asing malah merasa memiliki budaya Jogja ketimbang native peoplenya. Misalnya, berbagai jenis tarian tradisional yang sampai hari ini dikenal baik oleh orang asing ketimbang orang Jogja. Tari Golek Ayun-ayun, tari Beksan Srikandi Suradewati dan tari Arjuna Wiwaha adalah tiga tarian Kraton Yogyakarta, yang hanya diketahui oleh orang-orang seputar Kraton.
Kememerosotan akan pengetahuan budaya seakan menjadi hal sepele di kalangan masyarakat Jogja. Beberapa remaja mengatakan bahwa tarian modern lebih berenergi dibandingkan seni tari tradisional. Temponya yang lebih cepat membuat remaja merasa lebih bersemangat. Padahal seni tari di Indonesia tidak hanya memiliki gerakan yang klasik, lemah lembut, dan lambat.Â
Namun, ada juga yang memiliki tempo yang cepat dan meriah seperti tarian modern. Seni tari seperti ini sering disebut tari kreasi baru. Tari-tari kreasi baru yang sering diciptakan oleh penari-penari terkenal seharusnya juga bisa diminati remaja. Ketakutan akan sikap 'masa bodoh', generasi penerus budayanya sendiri, seyogianya menjadi perhatian setiap kita.
Hemat saya, cara yang kita lakukan untuk turut membantu melestarikannya adalah membuka pengetahuan akan seni dan budaya di daerah tempat tinggal budaya itu dibesarkan. Walaupun tidak bisa menari, setidaknya mengetahui seluk beluknya. Ini merupakan awal bagus untuk tahap berikut tentunya. Tahap berikutnya adalah mencintai seni tari tersebut, dengan begitu tumbuhlah rasa bangga akan seni tari. Jika sudah ada rasa cinta dan bangga dalam diri, maka akan muncul rasa apresiasi akan sebuah karya seni.
Tarian-tarian harus meng-Indonesia. Orang asing mengklaim budaya orang lain sebagai miliknya, bukan hanya karena mereka pandai 'mencuri' budaya orang lain (salah satu motifnya), tetapi pada dasarnya karena orang asing lebih memahami serta lebih pandai 'melafalkan' budaya jiplakannya. Oleh karena itu, sebagai generasi penerus yang memiliki sense of belonging yang tinggi akan budaya, kita perlu 'khawatir'.
Kita adalah orang-orang yang dibesarkan di bumi yang kaya akan kebudayaannya. Oleh karena itu, kita wajib menyadarkan siapa saja yang memiliki potensi atau bakat di bidang sanggar dan tari agar mampu menularkan 'harta' bumi kita terutama harta Jogja yang istimewa ke generasi masa depan. Sikap apatis adalah sikap orang yang tidak memiliki rasa nasionalisme terhadap negaranya.Â
Diam, artinya mengbiarkan dan bahkan bisa dikategorikan sebagai sikap mengkhianati budayanya sendiri. Jangan membiarkan harta kita menjadi milik orang asing. Kita punya kemampuan untuk mengkonservasi budaya kita. Gagasan ini, penulis muntahkan hanya sebagai rasa keprihatinan penulis atas kondisi budaya di rumah kita terutama, di kota yang kaya akan unsur budaya, seperti Jogja.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H