Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Menyentuh Tuhan Melalui Ekaristi Live Streaming

28 November 2020   09:44 Diperbarui: 28 November 2020   09:48 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Dokumen Pribadi Kristianto Naku.

Sudah lama pandemi virus corona memasung kita. Di gereja--gereja, kursi-kursi tampak kosong. Hari Minggu kadang tak lagi dingat. Tubuh dan Darah Yesus, jauh dari cecap. Semua ingatan kita tentang Tuhan, Gereja, ekaristi, dll., dipandu dari rumah. Meski disiasati dan didesain sedemikian rupa dari rumah, akan tetapi, kerinduan itu tetap "menggerayang." Betapa tidak, sudah hampir tujuh bulan, umat Kristiani diberi nutrisi iman melalui misa live streaming. Di sanalah, persekutuan itu justru tampak membosankan. Bagaimana mungkin persekutuan tanpa persentuhan (salaman, bergandengan tangan, merangkul, dan tanpa mencicipi Tubuh dan Darah-Nya) bisa membatin?

Ekaristi Live Streaming 

Strategi Gereja selama ini memang mau tidak mau harus mengoptimalkan penggunaan sarana teknologi dan komunikasi. Apa yang terlihat selama pandemi ini adalah dari altar, Tuhan digotong ke rumah-rumah melalui jaringan. Ketika Gereja sebagai persekutuan umat beriman dikembalikan ke akar (keluarga), reaksi di saat awal memang menyentuh dan merangkul. Fenomena ini, mengingatkan kita pada masa-masa awal Gereja dan ekaristi dimulai dan terbentuk (Kis 2:41-47). Semua bermula dari keluarga kecil, lalu pelan-pelan membentuk sebuah persekutuan Gereja (Umat Allah).

Ketika Gereja (persekutuan Umat Allah) dikembalikan ke keluarga (ecclesia domestica) melalui live streaming, kerinduan untuk menyentuh Tuhan semakin menguat. Kita memang yakin dan percaya bahwa kebutuhan untuk menyetuh Tuhan tersalurkan melalui komuni batin dalam perayaan live streaming, akan tetapi, rentang waktu yang terlalu lama justru membuat kita kadang merasa jenuh, bosan, dan gerah. Maka, pertanyaanya: "Sampai kapan, Tuhan akan terus-terusan disambut dalam kerinduan?"

Beberapa Umat Allah memperlihatkan kerinduan menyentuh Tuhan secara langsung melalui berbagai reaksi dan keluhan. "Ada keinginan untuk sesegera mungkin berkumpul di gereja dan merayakan ekaristi secara bersama," kata salah seorang umat. Selain dengan keluhan, ada pula bentuk kerinduan umat yang diperlihatkan dengan cara diam-diam mendatangi kapela atau tempat-tempat di mana ekaristi masih bisa dirayakan. Keinduan ini, tentunya tak mudah dijawab selama Covid-19 masih mengintai. Wajar, jika pandemi rindu di saat sekarang sangat mencengkram batin umat terutama ketika Tuhan tak mampu dijangkau sentuh.

Menyentuh Tuhan

Ada banyak kisah dalam Kitab Suci yang memperlihatkan bagaimana mujizat datang dari peristiwa persentuhan. Ada kisah wanita pendarahan (Mrk 5:25-34), ada kisah orang buta disembuhkan (Mat 9:27-31), orang bisu berbicara (Mat 9:32-34), orang lumpuh berjalan (Mat 9:1-8), dan masih banyak lagi. Jika direfleksikan, semua karya besar ini adalah peristiwa iman yang lahir dari persentuhan. Dalam perjumpaan dan menyentuh, energi baru masuk mengisi tabung kekosongan spiritual umat (bdk. Kisah Perempuan yang Mengalami Pendarahan). Katanya: "Asal kujamah jumbai jubah-Nya." 

Untuk itu, satu-satunya cara mempersatukan kita dengan Tuhan adalah dengan merayakan ekaristi. Dalam perayaan ekaristi, kita percaya dengan iman bahwa roti dan anggur yang diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus adalah wujud nyata kehadiran-Nya di tengah-tengah kita. "Jadi dari Liturgi, terutama dari Ekaristi, bagaikan dari sumber, mengalirlah rahmat kepada kita, dan dengan hasil guna yang amat besar diperoleh pengudusan manusia dan permuliaan Allah dalam Kristus, tujuan semua karya Gereja lainnya" (SC, 10). Melalui ekaristi -- menerima Tubuh dan Darah Kristus -- kita memperoleh hidup. Inilah nutrisi iman, yang memampukan kita sebagai Umat Allah bertumbuh, berkembang, dan disemangatkan.

Di masa pandemi ini, kerinduan menyentuh Tuhan melalui penerimaan Tubuh dan Darah-Nya secara langsung menghiasi latar batin semua umat Kristiani. Seperti halnya Maria Magdalena pasca kepergian Yesus (Yoh 20:11-18), umat Kristiani merasa galau. Ada kerinduan dan kecemasan yang sangat besar dalam diri umat ketika Tuhan diberi jarak karena Covid-19. Dengan menolak kerumunan massa, kebijakan social distancing, dan mekanisme protokol kesehatan lainnya, persekutuan umat sebagai sebuah Gereja kelihatan menjadi redup. Keluarga tak saling jumpa, tawa-ceria di sekitar bangunan gereja menjadi bisu, serta aneka kegiatan menggereja lainnya tak tersapa seperti biasa.

Apa yang dirindukan umat saat ini adalah perjumpaan sekaligus menyentuh. Umat ingin agar Tuhan menjadi lebih dekat ke dalam batin, hati, dan pikiran dengan mencicipi Tubuh dan Darah-Nya. Umat ingin agar Tuhan dapat diraba dan dicecap melalui Tubuh dan Darah-Nya. Umat ingin, Tuhan menyatu dalam perjumpaan, senyum, bersalaman, merangkul, di gereja. Sekali lagi, ini hanya sebatas kerinduan. Selama ini, semuanya hanya dijangkau dengan kerinduan -- komuni batin.

Menjadi Saksi 

Selama masa pandemi, kita tak memiliki ruang yang cukup luas untuk berdinamika. Semua ritme hidup dikekang dalam rumah. Kerja dari rumah, belajar dari rumah, ibadah dari rumah, sekolah dari rumah, berbisnis dari rumah, dan menyaksikan wabah ini dari dalam rumah. Ketika semua hal dilakukan dari rumah, ada satu pesan yang diingatkan Paus Fransiskus untuk kita: "Apa yang akan kita ceritakan sebagai saksi kunci dari peristiwa pandemi ini?" Paus Fransiskus melalui pesan reflektifnya "Life After The Pandemic" (Maret 2020), mengingatkan kita sebagai saksi kunci agar mampu menangkap momen dan menyulam cerita menjadi sebuah bentuk kesaksian.

Tentunya pengalaman duka, pengalaman galau, pengalaman haus dan lapar akan Tuhan dalam ekaristi, atau pengalaman lainnya sebagai saksi kunci dalam setting pandemi ini bisa menjadi bekal kesaksian kita bagi generasi yang tak mengalaminya. Dalam hal ini, umat Kristiani diharapkan untuk mampu menangkap sebuah refleksi mendalam ketika Tuhan tak sempat dicecap dan disentuh selama masa pandemi. Untuk itu, apa yang menjadi pandemi kerinduan selama ini justru akan terjawab dengan kesaksian. Inilah yang dibuat para murid usai mengalami masa-masa kritis ketika Yesus menderita, sengsara, dan mati di salib. Mereka adalah saksi dan berani bersaksi (bdk. Kis 4:1-37).

Kita mungkin terlelap dalam jeruji rindu selama masa pandemi. Kita dikurung agar tak menyentuh Tuhan secara langsung melalui perjumpaan dengan sesama sebagai Gereja (Umat Alah), dan dipasung untuk tak menyentuh Tuhan melalui Tubuh dan Darah-Nya dalam ekaristi. Akan tetapi, menjadi saksi adalah salah satu cara bagaimana kita mendekatkan diri dengan Tuhan. Hidup pernah terbelah antara altar dan rumah karena pandemi Covid-19. Maka, saatnya sekarang, mari menyulam cerita yang sempat dijedah pandemi. "Agar kita dapat menceritakan kepada anak cucumu" (Kel 10:2), maka mari menyulam cerita seputar kerinduan di tengah pangebluk Covid-19 melalui kesaksian iman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun