Logika Amartya Sen
Tidak semua ekonom Asia meyakini keunggulan nilai-nilai budaya Asia sebagai dasar kemajuan ekonomi. Amartya Sen, ekonom asal India, pemenang Hadiah Nobel Ekonomi tahun 1998, adalah satu dari sedikit ekonom Asia yang berani melontarkan kritik tajam terhadap "Hipotesa Lee" tersebut.Â
Dalam artikelnya di majalah The New Republic (1997), Amartya Sen, misalnya, mempertanyakan hubungan kausal antara corak pemerintahan otoriter dengan dampak positif kemajuan ekonomi.
Amartya Sen memulai tesisnya dengan sebuah data gamblang mengenai track record pertumbuhan ekonomi negara demokrasi, seperti Bostwana. "Pertumbuhan ekonomi di Botswana adalah yang paling tinggi di dunia. Negara itu bukan negara otoriter. Ia bahkan menjadi oase demokrasi di benua Hitam," tulisnya. Menurut Sen, data statistik 100 negara membuktikan bahwa dampak positif sebuah pemerintahan otoriter terhadap pertumbuhan ekonomi sangatlah kecil.
Dasar argumen Sen antara lain diambil dari penelitian Robert J. Barro berjudul "Getting it Right: Markets and Choices in a Free Society" (1996). Di situ dikatakan, datangnya kebebasan di negara-negara otoriter memang menghidupkan ekonomi. Akan tetapi, begitu sebuah tingkat demokrasi tercapai, pertumbuhan ekonomi di negara otoriter akan gembos.Â
Hal ini disebabkan karena masyarakat mulai minta tambahan pembelanjaan kesejahteraan sosial. Masalah jaminan ekstra inilah yang membuat logika ekonomi negara otoriter mulai pincang.
Indonesia, dengan baptisan demokrasi, membuktikan bagaimana kebenaran tesis Amartya Sen beroperasi. Sejak keluar dari rezim otoriter Orde Baru menuju Pemerintahan Demokratis, Indonesia justru menigkatkan laju pertumbuhan ekonomi. Bahkan sebelum pandemi, pertumbuhan ekonomi Indonesia masuk daftar ekonomi terkuat di dunia dan Asia khususnya.Â
Dalam hal ini, sistem proteksi gaya logika ekonomi "Hipotesa Lee," tidak berlaku untuk setiap negara. Maka, pengaruh sistem pemerintahan demokrasi mampu memberi kapling ekonomi yang mumpuni untuk setiap perkembangannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H