Konflik yang dilatarbelakangi perbedaan agama dalam skala internasional telah menyita perhatian dunia. Agama sebagai jembatan dialog, kini perlahan-lahan menjadi tembok yang siap membatasi ruang gerak kerukunan dan keharmonisan hidup bersama. Struktur kolektif, seperti keluarga, kebersamaan, dan negara itu sendiri, retak oleh karena perbedaan agama.
Dalam tulisan ini, penulis hendak membuat sebuah penelitian singkat mengenai faktor penentu dan kemungkinan jalan keluar atas kekerasan yang mengatasnamakan agama. Metode yang dipakai dalam merangkum jawaban responden adalah metode kuantitatif. Metode ini dirasa membantu terutama dalam memilah secara matematis hasil penelitian dengan jumlah responden real. Hasil penelitian ini, akan dihubungkan dengan beberapa tokoh yang berbicara mengenai dialog lintas agama.
Penulis akan mengangkat beberapa pemikiran pokok teolog sekaligus filosof Kristen abad pertengahan, yakni Thomas Aquinas. Tulisan Aquinas mengenai pembelaan iman, Summa Contra Gentiles, akan dipakai sebagai sumber utama dalam penggarapan tulisan ini. Tiga gagasan pokok Aquinas yang disadur dari traktat Summa Contra Gentiles, menjadi kerangka studi penulis dalam menganalisis hasil penelitian.
Profil Penelitian
Dalam mengkaji unsur-unsur yang memengaruhi relasi antar-umat beragama, khususnya di Indonesia, penulis berusaha mengakomodir segala opini publik mengenai faktor domain dalam relasi. Akan tetapi, fokus penelitian penulis, lebih mengangkat respon para mahasiswa. Tujuannya adalah memberi tanggapan atas reaksi responden dan berusaha melakukan studi atas pemikiran tokoh -- dalam hal ini Thomas Aquinas -- mengenai dialog lintas-agama.
Jumlah responden yang dimintai keterangan adalah 10 orang dan semua responden beragama Islam. Penulis sengaja mengkhususkan proyek penelitian ini bagi mahasiswa Muslim, mengingat Muslim adalah mayoritas di Indonesia. Dengan meminta keterangan suara mayoritas, penulis dipermudah untuk menghubungkan hasil penelitian dengan gagasan tokoh yang akan dipelajari.
Teknik penelitian tulisan ini adalah dengan metode kuantitatif. Penulis akan mengkalkulasi jumlah persentasi suara sesuai dengan opsi yang disuguhkan dalam kuisioner. Jumlah suara terbanyak akan dipakai sebagai pembanding studi dengan gagasan tokoh yang dipelajari.
Hasil Penelitian
Penulis berusaha merangkum seluruh opini responden. Dari duabelas jumlah pertanyaan yang disuguhkan sebagai pemancing, diperoleh varian jawaban yang menuntut sebuah analisis mendalam. Dua pertanyaan utama mendapat respon yang beragam. Enam puluh orang responden menjawab bahwa faktor penentu munculnya tindakan kekerasan atas nama agama adalah agama itu sendiri; sedangkan 30 yang lain menjawab politik dan 10 orang menjawab sosial-ekonomi.
Dari 100 responden yang sama, 80 orang menjawab bahwa faktor penentu penyelesaian tindakan kekerasan atas nama agama adalah agama itu sendiri, dan 20 orang lainnya menjawab faktor sosial-ekonomi. Berbagai jawaban ini dikelola dengan rumusan skala 100%, yakni: faktor penyebab kekerasan atas nama agama: 60% (agama), 30% (politik) dan 10% (sosial-ekonomi) dan faktor pendukung penyelesaian tindakan kekerasan atas nama agama: 80% (agama) dan 20% (sosial-ekonomi).
Dari kalkulasi reaksi responden atas pertanyaan-pertanyaan di atas, penulis membuat sebuah rangkuman sekaligus status quaestionis yang selanjutnya dikonfrontasikan dengan pemikiran tokoh tertentu. Penulis menyimpulkan bahwa sebab tindak kekerasan yang selama ini bersuara dengan dalih atas nama agama memang diakui publik.
Publik -- tentunya tidak merangkum semua opini -- mengklaim bahwa konflik yang terjadi memang dilatarbelakangi perbedaan agama itu sendiri. Kata "atas nama" tidak menjadi representan dari faktor lain di luar agama. Dengan kata lain, faktor pemicu kekerasan tidak perlu dicari di luar agama -- agamalah pemicu konflik itu sendiri.
Sedangkan faktor penentu penyelesaian -- menurut data responden -- tidak dicari di luar agama. Agama sebagai penyebab kekerasan terjadi, sekaligus menawarkan solusi untuk dijadikan pertimbangan penyelesaian. Akan tetapi, dari data yang dikelola, faktor lain yang menjadi penyebab konflik atas nama agama adalah politik dan sosial-ekonomi.
Faktor politik dijadikan sebagai dalang yang memainkan wayang (agama) sebagai pemain utama dalam menciptakan persoalan. Pernyataan "kekerasan atas nama agama" dapat dipahami dalam kerangka ini. Agama menjadi sarana dan representan atas ambisi berkuasa dan polemik politis lainnya. Responden juga menyebutkan bahwa faktor sosial-ekonomi menjadi solusi-prospektif dalam menyelesaikan tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama.
Hal ini menunjukkan bahwa, ekonomi tidak pernah terlepas dari orbit persoalan yang mengintari kehidupan suatu bangsa, kelompok atau etnis tertentu. Dalam banyak kasus, ekonomi selalu memainkan peran behind the scene, terutama dalam mengatur kelancaran proyeks ambisi berkuasa tertentu. Analisis Marx mengenai "bangunan bawah" dan "bangunan atas", tidak luput dari strategi kelompok tertentu dalam merebut "kue" kekuasaan. Maka, reaksi responden -- memilih faktor sosial-ekonomi sebagai penentu lain penyelesaian konflik -- dianggap berpengaruh terhadap upaya solutif-futuris.
Dari analisis rangkuman hasil penelitian ini, penulis membuat sebuah pertanyaan penuntun yang berusaha dikonfrontasikan dengan pemikiran Thomas Aquinas mengenai dialog lintas-agama. Pertama, mengapa agama dilihat sebagai faktor utama penyebab tindakan kekerasan? Kedua, apakah jalan keluar penyelesaian tindakan kekerasan mampu dijawab seluruhnya oleh agama ataukah agama hanya menjadi halaman depan dari kalkulasi politik-ekonomis yang menanti untuk dipenuhi?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI