Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Perang Melawan Ambisi dalam "Tragedy of Macbeth"

17 November 2020   13:49 Diperbarui: 17 November 2020   13:51 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dunia sekarang tengah berperang melawan ambisi. Beragam ambisi yang diperlihatkan. Akan tetapi, yang pasti, ada satu yang tengah diperlihatkan, yakni ambisi 'tuk menguasai. Kita masih meraba-raba, siapa sebenarnya yang sedang berambisi menguasai di tengah pandemi Covid-19 ini?

Saya berusaha mengantar saudara-saudara pada situasi di balik layar, sebuah kisah yang mempertontonkan ambisi 'tuk berkuasa. Ini seperti situasi saat ini. Sepertinya ada beberapa orang, atau sekelompok orang, atau mungkin lebih luas lagi sebuah negara yang tengah mau berambisi. Ambisi 'tuk menguasai. Kisah ambisius 'tuk menguasai bisa dilahap di layar kaca dengan tagline "Macbeth."

Akira Kurosawa pernah membawa kita ke Jepang konteks Abad Tengah dan menamakannya Kumonosu-jo (Throne of Blood), sedangkan Roman Polanski mengangkatnya menjadi The Tragedy of Macbeth (1971), dimana isi box ceritanya penuh dengan adegan brutal dan kontroversial. Mereka yang menyaksikan karya Shakespeare dalam bentuk apa pun pada intinya bukan ingin mengetahui plot cerita -- karena jalan cerita dasar pasti akan dipenuhi -- tapi akan menjadi semakin menarik ketika sang sutradara mampu menerjemahkan karya tersebut sesuai dengan setting, negara, dan bahasa yang dipilih.

Dalam film Macbeth, karya sutradara Justin Kurzel, dimana tayangannya bisa disaksikan di bioskop Indonesia, memperlihatkan tafsir visual yang sungguh menarik. Dalam satu adegan klimaks, Macbeth (Michael Fassbender) digambarkan menatap langit-langit kamarnya. Tetesan air dari hujan badai pada malam gelap itu, merembes lalu mengalir jatuh membasahi tangannya yang merah bernoda darah. Macbeth baru saja membunuh Duncan, Raja Skotlandia.

Inilah kejahatan pertama yang dilakukan kesatria tangguh dalam mewujudkan ambisinya menjadi raja. Sambil menggosok tangnnya dengan air, Lady Macbeth (Marion Cotillard) masuk ke kamar itu. Dia baru saja meletakkan dua belati yang dipakai untuk membunuh raja di tangan para penjaga yang tengah tertidur pulas. Tangan perempuan itu juga penuh darah. Pasangan suami-istri itu menggosok tangan mereka di bawah tetesan air, mengahapus jejak darah. "My hands are of your colour; but I shame. To wear a heart of white", perempuan itu setengah berbisik.

Film yang masuk nominasi peraih Palme d'Or dalam Festival Film Canes 2015 ini, di sepanjang filmnya, mengutamakan sinematografi yang lebih kelam tentang kesatria yang tenggelam dalam kubangan terburuk manusia. Lakon Macbeth, diciptakan lebih dari 500 tahun lampau, berkisah tentang kejatuhan seorang kesatria terhormat karena ambisinya terhadap kekuasaan. William Shakespeare menafsir tokoh sejarah "Raja Macbeth" oleh Raphael Holinshed dan filosof Hector Boece sebagai inspirasi untuk kisah tragedi Macbeth.

Tragedi Macbeth merupakan salah satu dari 10 tragedi William Shakespeare yang paling terkenal sepanjang masa. Macbeth adalah karakter ambisius, manipulatif, dan terserang paronia karena obsesi kekuasaannya. Macbeth yang ambisius, berpegang pada ramalan tiga tukang tenung. Ia menggunakan ramalan tersebut sebagai sarana justifikasi untuk membunuh. Upayanya pun berhasil dan akhirnya ia berhasil duduk di tahta kerajaan. Sekalipun sudah menjadi raja, dia terus-menerus merasa harus melenyapkan ancaman yang diperkirakan bisa merenggutnya.

Moral politik naskah Shakespeare adalah "mereka yang memperoleh kekuasaan dengan cara curang dan keji akan dijungkalkan dengan cara yang sama, bahkan akan lebih keji." Karya Shakespeare yang diadaptasi ke layar lebar itu bisa ditelusuri hingga era film bisu Amerika Serikat pada 1906. Salah satu film Macbeth tertua yang ditemukan oleh majalah Tempo (baca Majalah Tempo edisi 21 Februari 2016, 54-55) adalah film hitam-putih produksi Amerika Serikat pada 1948 karya Orson Welles.

Istana Macbeth dalam imajinasi Welles dibangun layaknya gua di bukit karang. Pemeran pria dalam film ini, menggunakan kostum motif tartan khas Skotlandia, sedangkan Lady Macbeth mengenakan gaun Abad Pertengahan beserta penutup kepala. Dalam adaptasinya, agaknya Welles ingin menampilkan benturan agama baru, yakni Kristen dan agama pagan Durid.

Saat sekarang, dunia seperti tengah menyaksikan tontonan ambisi ini. Tapi bukan Macbeth yang bermain. Aktornya tak keliahatan, tapi ambisinya kelihatan, yakni ingin menguasai. Ingin disegani, ingin disebut adidaya. Pandemi ini soal ambisi. Kita tetap bersatu melawan ambisi ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun