Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Hujan di Kota Istimewa

16 November 2020   20:41 Diperbarui: 16 November 2020   21:05 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari tadi pagi hingga siang, cuaca terbilang cerah. Langit bersih tanpa awan, cerah tanpa kabut. Matahari pun memancarkan sinarnya sedikit panas dari sebelumnya. Kota ini pun sekejab ditegur banyak orang: "Kok, sumuk banget ya, hari ini." Panas, dan tiba-tiba hujan.

Ya panas. Sumuk, gerah, keringat. Akhir-akhir ini, Jogja tidak "segeram" hari ini. Yang ada akhir-akhir ini malah komentar soal dingin. Jogja memang tengah memasuki fase "menjadi adem." Ketika semuanya asyik dengan situasi adem, hujan kemudian datang memberi warna.

Hujan memberi tanda untuk kebersamaan saat ini. Kebersamaan merangkai kisah sejauh, selebar, dan seadem bulan Oktober. Hujan sore hari ini merupakan penanda ritme November dan segala kesibukannya mulai dibuka. November bersemi. Dan, bagi kota ini sendiri (Yogyakarta), hujan sore ini menjadi tanda berakhirnya masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Hujan dilihat sebagai berkah. Berkah itu datang di penghujung bulan seperti rintik-rintik hujan. Di luar sana, pepohonan dan jalanan aspal, lama dilekat debu hingga orang-orang merengkuh masker dan batuk. Kita tak tahu, apa yang tengah direncanakan Sang Khalik untuk bulan berikutnya. Saya menebak dan mungkin Anda menerawang. Hujan sore ini tetap meninggalkan tanda.

Hujan sore ini tak disertai gemuruh, guntur, topan, atau apalah, seperti biasanya ia menggandeng ikon-ikon tersebut. Gelap memang pelan-pelan menghampiri. Dari jendela kamar, tak lagi kulihat ujung atas menara tertinggi di wilayah ini. Lagi-lagi, hujan sore ini memberi banyak ruang gaduh untuk direfleksikan.

Beberapa ahli nujum memang memperkirakan "doubble effect" dari datangnya hujan. Ada yang bilang itu berkat. Ada yang bilang itu penanda. Tapi, kita tetap bersyukur untuk hujan sore ini. Di luar prediksi, hujan datang di saat Oktober dan mentari berakhir. Dan, Jogja yang tenang ini, basah kuyub.

Senja hari di Kota Gudeg adalah saat bercengkrama setelah seharian bekerja. Senja di kota ini, juga merupakan saat mencicipi. Ya saat untuk mencicipi segala keindahan dan keistimewaan kota. Kota ini dijuluki istimewa, tapi bagi saya, malam harilah yang memberi penegasan pada keistimewaan kota ini.

Dan, sore ini, di saat bersamaan, kota istimewa diguyur hujan akhir Oktober. Kita bisa membuka buku catatan kita masing-masing untuk sejenak meringkas masa sepanjang Oktober yang ditutup hujan. Jika masih ada waktu untuk mau bersama dengan Oktober, hujan sore ini menjadi momen tepat untuk menulisnya dan berterima kasih kepada Sang Pemilik Kehidupan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun