Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Premium, "BBM Oplosan" yang Dilegalkan

2 November 2020   10:26 Diperbarui: 2 November 2020   15:18 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Selama ini, pasar ritel justru menjual produk tak layak. Oplosan jenis Premium dan Pertalite sudah ramah kendaran dan pemilik kendaraan, tapi menggangu kenyamanan lingkungan hidup. Kan begitu.

Apa yang menarik bahwa catatan soal bahaya BBM jenis Premium dan Pertalite berbanding terbalik dengan kurva konsumsi pasar. Dari audit beberapa "oil station" (Pom Bensin), konsumsi Premium dan Pertalite malah paling besar dibandingkan dengan jenis BBM lainnya. Maka, hal ini perlu diperhatikan dengan baik. Berarti selama ini, BBM jenis "oplosan" ini sudah ramah sama konsumen.

Dirut PT Pertamia, Nicke, dalam sesi Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VII DPR RI menyebutkan bahwa Indonesia selama ini sama dengan beberapa negara Asia dan Amerika Latin lainnya. Bangladesh, Mongolia, dan Kolombia misalnya, masih menggunakan BBM dengan kadar RON di bawah standar. Sedangkan, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, dan Vietnam sudah lama memakai BBM RON 91.

Ambisi pengadaan BBM berstandar dengan kualitas jernih, hemat saya, masih jauh dari ekspektasi bangsa ini. Jika ekonomi masyarakat sejahtera, ya sah-sah saja kita bahas kebutuhan berstandar. Selama ekonomi masyarakat masih merangkak di level standar (pas-pasan), cukup sulit untuk berimajinasi soal BBM kualitas jernih dan mahal.

Saya malah berpikir demikian. Jika isu soal penghapusan Premium dan Pertalite tetap rewel dibicarakan, bagaimana dengan ongkosnya ke depan? Masyarakat memang tak tahu betul soal seluk-beluk kandungan gas emisi pada dua jenis BBM yang beredar. Yang terpenting buat masyarakat adalah soal apakah BBM yang dipasarkan ramah dompet/ongkos atau tidak. Jika gak ramah ongkos, pasti tak diburu.

Jika Premium dan Pertalite dihapus dari etalase pasar, maka subsidinya harus dialihkan, misalnya ke Pertamax. Tujuannya, ya biar tetap bisa dijangkau (cheap). Satu lagi yang perlu diperhatikan adalah soal mekanisme penghapusan. Di masa pandemi ini, stamina konsumsi masyarakat cukup lesu. Takutnya, masyarakat justru dipersulit ketika mau membutuhkan BBM.

Terus bagaimana setelah Premium dan Pertalite dihapus? Apakah Pertamax tetap duduk di kurs harga yang tinggi? Jika demikian, bukankah ini membuat masyarakat nantinya ricuh? Wong udah stamina ekonomi lesu, jangkuan kebutuhan BBM malah dipersulit.

Ini salah satu bahaya yang perlu dilihat lebih jeli terkait isu penghapusan BBM jenis Premium dan Pertalite. Kita ingin masyarakat tetap memenuhi kebutuhannya dengan baik terutama di masa krisis ini.

Apa yang perlu jika Premium dan Pertalite dihapus dari peredaran pasar adalah soal pengalihan subsidi. Jika subsidinya dialihkan ke Pertamax, dijamin masyarakat tak rewel membantah. Yang penting ketika dialihkan, pemerintah perlu menurunkan ongkos Pertamax agar dijangkau beli.

Memang, isu penghapusan BBM jenis Premium dan Pertalite dari peredaran pasar digenjot terus karena mengena dengan momen yang ada sekarang. Di tengah pandemi, konsumsi pasar cenderung menurun. Maka, saatnya paling tepat menghilangkan BBM jenis Pertalite dan Premium dari peredaran pasar. Mungkinkah?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun