Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Financial

Ketika Upah Menodai Makna Kerja

20 Oktober 2020   07:44 Diperbarui: 20 Oktober 2020   08:01 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena everything is going faster sudah mengunci pola hidup societas dewasa ini. Gaya hidup yang serba glamour dan menenteng masyarakat cyber di tangan adalah salah satu hal yang menandai potret dunia sekarang. Karena tuntutan yang serba cepat, proses dan hasil yang efektif pun tidak lagi diperhitungkan. Yang terpenting cepat selesai, cepat saji, cepat sampai, dan cepat dapat upah. 

Dalam dunia kerja, kehausan untuk mendapat upah lebih cepat sampai daripada hasil kerja yang maksimal. Misalkan, memimpin Ekaristi cepat-cepat, biar cepat makan, cepat pulang, cepat BBM-WA-Line-Facebook, nonton bola, atau cepat dapat intensi. Inilah wajah kerja sekarang. 

Orientasi hasil dan proses dalam bekerja selalu duduk di bangku cadangan. Hal ini, sejatinya hendak menunjukkan bahwa kerja semata-mata adalah kegiatan mendapatkan upah. 

Cara-cara mendapatkan upah juga beraneka wajah. Ada yang melalui penipuan di jejaring sosial, mencuri, mengemis, dll. Pada umumnya upah identik dengan keringat; dan keringat identik dengan kerja -- konteks bekerja. Menurut Marx, pekerjaan upahan adalah pekerjaan yang mengasingkan manusia. Upah adalah wajah palsu apresiasi yang diberikan untuk membayar tenaga kerja. 

Karena upah, orang tidak lagi bekerja sesuai dengan kemampuan atau skill alamiahnya, tetapi malah distir oleh keinginan mereka yang memiliki alat-alat produksi. Maka, baik pekerjaan yang dikerjakan maupaun pekerjaan itu sendiri tidak memiliki hubungan sama sekali dengan kepribadian pekerja. Demi upah, seorang pekerja memperalat kegiatan hakikinya -- ia memperalat dirinya sendiri.

Dalam sistem upah, buruh tampak bukan sebagai tujuan itu sendiri, melainkan sebagai hamba atau pembantu upah. Pekerja seharusnya merealisasikan dirinya, mengaktualisasikan potensi yang ada melalui kerja. Akan tetapi, upah memaksanya memikul potensi ide dan gagasan orang lain. Kebebasan si pekerja diambilalih oleh majikan dan upah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun