Senjata mahasiswa saat demo, tak lain adalah aspirasi. Maka, jelas senjata tajam, bukan perkakas aksi demonstrasi para mahasiswa. Palu, pisau, korek api, pecahan botol, batu bata, hingga isu bom molotov yang menimpa Kafe Legian Jogja adalah potret jejek aksi demo pada Kamis, (8/10/2020) kemarin. Saya yakin, itu bukan mahasiswa dan buruh. Lalu siapa? Adakah penumpang gelap dalam aksi demonstrasi menolak Omnibus Law Cipta Kerja pada Kamis, (8/10/2020) kemarin?
Epilog demo tolak Omnibus Law Cipta Kerja, Kamis, (8/10/2020) kemarin rentan aksi anarkis. Ujung dari aksi anarkis ini mengakibatkan beberapa fasilitas publik rusak berat. Tak hanya perusakan fasilitas publik, aksi saling serang antara demonstran dan pihak keamanan juga ramai diperbincangkan dan dipertontokan di berbagai portal media. Genangan realitas ini pun tak baik jika didiamkan begitu saja. Pertanyaannya: "Apakah aksi demo memang murni menuntut UU Cipta Kerja dibatalkan?" Ataukah, memang ada agenda lain dan penyusup yang sengaja memanfaatkan aksi demo kemarin untuk kepentingan kelompoknya?
Jika menelisisk jejak aksi demo pada Kamis (8/10/2020) kemarin, rupanya ada beberapa kelompok penyusup yang sengaja masuk dalam kerumunan mahasiswa dan buruh dengan agenda utama, yakni membuat ricuh dan kacau. Menurut Pakar Analisis Intelijen dan Keamanan Universitas Indonesia (UI) Stanislaus Riyanta, aksi demo tolak Omnibus Law pada Kamis kemarin, bisa diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok, antara lain kelompok murni buruh dan mahasiswa, kelompok ikut-ikutan (followers-baperan), dan kelompok penyusup-penumpang gelap.
Pertama, kelompok buruh dan mahasiswa. Kelompok ini adalah kelompok yang mempunyai intensi murni dalam aksi demo. Target mereka, tidak lain soal penolakan Omnibus Law Cipta Kerja yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Peralatan yang mereka bawa dalam aksi demo tidak lain adalah aspirasi. Mereka menggotong niat baik bahwa UU Cipta Kerja yang baru saja disahkan oleh DPR tak sesuai dengan target dan dinamika hidup para buruh dan lahan kerja Indonesia. Oleh karena itu, mereka menggelar aksi unjuk rasa tolak Omnibus Law Cipta Kerja.
Kelompok yang kedua adalah kelompok yang dikategorikan sebagai kelompok pengikut gerakan demonstrasi (followers). Kelompok ini ikut dalam aksi demonstrasi karena alasan bawa perasaan (baper). Mereka tak tahu arah dari aksi demo dan asal ikut. Namanya juga followers, bawaannya pasti baper. Konten pasal yang dipersoalkan atau alasan kenapa mereka berdemo, tak pernah dijawab pertanyaan. Mereka ini bisa saja datang dari masyarakat biasa atau kelompok pelajar. Mereka hadir dalam aksi demo karena merasa terpanggil, seperasaan, dan juga karena terprovokasi pihak-pihak tertentu dan berita-berita hoax.
Kelompok yang ketiga adalah kelompok penumpang gelap. Kelompok ini ikut dalam aksi demonstrasi dengan agenda tertentu: membuat kericuhan, memanaskan situasi, merusak fasilitas publik, dan menarget pihak-pihak tertentu. Kelompok penumpang gelap, menurut Stanis terdiri dari kelompok anarko, kelompok politis, dan orang intoleran. Kelompok anarko adalah kelompok anti-kemapanan; sedangkan kelompok politis adalah kelompok yang getol menyuarakan aksi-aksi politis yang berseberangan dengan pemerintah, dan kelompok intoleran adalah kelompok menyerang etnis-etnis tertentu. Kekuatan dari kelompok ini justru memengaruhi, memans-manaskan situasi, menggiring, serta memprovokasi.
Kelompok penumpang gelap pada dasarnya memprovokasi kelompok followers yang tidak memiliki kekuatan dan dasar yang kokoh saat berdemo. Kita tahu bahwa dari kelompok followers ada pelajar dan orang-orang muda yang mempunyai energi yang kuat untuk terjun ke lapangan. Secara emosional, kelompok pelajar dan anak muda cenderung mudah digiring dan terprovokasi. Apalagi dengan setting pandemi yang membuat mereka gabut di rumah, maka momen unjuk rasa dengan aksi turun ke lapangan adalah saat yang paling baik dan tepat untuk bisa keluar rumah. Aksi mereka pun semakin disemangati ketika konten-konten provokatif menjamur di portal media sosial. Â
Dari penyelidikan pihak keamanan dan kepolisian, isu penunggang gelap memang muncul ke permukaan. Sejauh ini ada beberapa orang yang ditangkap, diselidiki, dan dilacak oleh pihak kepolisian terkait tindakan anarkis pada aksi demo kemarin. Kelompok yang masuk dalam daftar penelusuran jejak kepolisian adalah kelompok anarko. Kelompok ini memang sudah beberapa kali muncul dalam beberapa momen aksi kerusuhan di negeri ini. Pada aksi demo menolak Omnibus Law kemarin, mereka sengaja memanfaatkan momen agar semua hasrat yang sempat terkurung selama ini bisa diselip dan diluapkan di tengah kerumunan massa.
Kelompok anarko adalah sebuah aliran yang mengampanyekan anti-kemapanan. Jejak mereka sempat terekam dalam beberapa momen aksi demonstrasi di tanah air pada tahun-tahun terakhir, misalnya pada momen penolakan KUHP, UU Pemberantasan Korupsi, serta peristiwa-peristiwa momentum lainnya di Indonesia. Target kelompok ini adalah pemerintah dan pihak keamanan. Memang dalam beberapa waktu terakhir ini, kelompok anarko sempat menjadi incaran pihak kepolisian. Karena prospek aksi mereka menentang pemerintah dan keamanan, maka jelas bahwa tindakan kericuhan dan aksi saling serang dengan pihak kepolisian memanas.
Jika demikian, apa yang perlu diantisipasi? Tentunya aksi menolak Omnibus Law Cipta Kerja masih digaungkan di bilik-bilik basement negara ini, entah melalui diskusi senyap ataupun pesan berantai di media sosial. Hal yang perlu diwaspadai adalah munculnya aksi-aksi yang lebih anarkis dari kelompok penumpang gelap. Dalam hal ini, kita percayakan pihak Badan Intelijen Negara (BIN), TNI, Brimob, dan kepolisian untuk menuntas-habis aksi-aksi akar rumput (grassroot) dan operasi senyap kelompok-kelompok perusak bangsa dan negara ini. Masyarakat tak mempunyai payung lain untuk meminta bantuan selain garda keamanaan tadi.
Antisipasi ekstra yang mungkin perlu disiasati adalah bagaimana men-screening lokasi demo dan peserta demo dari perkakas-perkakas demo yang membahayakan nyawa, situasi, dan lokasi sekitar (warga, pedagang, fasilitas publik). Dalam hal ini, pihak kepolisian mungkin perlu berkerja sama dengan para demonstran murni (buruh dan mahasiswa) dalam menjaga jalannya aksi demo secara damai dan sesuai prosedur hukum. Razia alat-alat tajam dan benda-benda membahayakan lainnya, seperti parang, pisau, pecahan botol, batu bata, korek api, besi, kayu, juga handphone, perlu diperketat lagi. Seyogiyanya, demonstrasi itu bersenjatakan aspirasi, bukan senjata tajam. Semuanya ini, kita percayakan kepada pihak keamanan. Masyarakat tetap mendukung kalian para aparat keamanan.
Sejauh ini, tingkat kepercayaan publik atas kinerja pihak keamanan (BIN, TNI, Polri, Brimob) sangat memuaskan. Masih banyak orang di negeri ini yang mengapresiasi kinerja aparat keamanan. Jasa-jasa kalian melawan musuh dalam rumah sendiri (Indonesia) memang laik diapresiasi. Kalian meninggalkan isteri-anak dan rela dicaci-maki, difitnah, diolok-olok, dilempari batu, ditendang, digebuk, hanya demi keamanan dan kesatuan bangsa dan negara ini. Kami berharap, kalian sebagai garda keamanan dan kesatuan bangsa ini tetap maju bekerja. Masyarakat Indonesia mendukung kinerja aparat keamanan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H