Dengan kata lain, optimisme penemuan vaksin tak menghilangkan kebiasaan menjaga jarak, mencuci tangan, dan memakai masker. Maka, di tengah masa penantian ini, protokol tetap dijaga dan dihidupi.
Omnibus Law dan Kesejahteraan
Arah munculnya UU Cipta Kerja menurut Presiden Joko Widodo adalah kesejahteraan (welfare). Jika UU Cipta Kerja hanya untuk kebahagiaan para pengusaha dan penguasa, menurut Jokowi, itu tidak benar. Latar belakang lahirnya UU Cipta Kerja tentunya ditengarai oleh siklus ekonomi yang kian melambat dan situasi geo politik global yang kian memanas.Â
Semua situasi ini ikut memengaruhi ritme ekonomi nasional Indonesia. Selain situasi geo politik global, iklim buruk ekonomi dunia juga sangat dipengaruhi oleh adanya transformasi rapid di bidang teknologi dan informasi. Perubahan ini kemudian melahirkan ekonomi digital (digital economy).
Latar situasi ini, hemat saya, tentunya menentukan ruang gerak kerja dan ketersediaan lapangan kerja. Dari data ketenagakerjaan disebutkan bahwa jumlah pengangguran ada 7,05 juta orang dan angkatan kerja baru berkisar 2 juta orang per tahun. Jika data ketenagakerjaan memperlihatkan realitas demikian, maka pemerintah merasa bertanggung jawab untuk menyiasati semua situasi demikian.
Di portal investasi, hingga per 2019 kemarin realisasi investasi mencapai Rp 601 triliun. Bagi kita, ini belum cukup untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi, pemerintah memerlukan strategi ekstra agar menarik investasi. Dan, salah satu caranya adalah dengan memperbaiki regulasi yang cenderung tumpang-tindih dan sangat berbelit-belit.
Pada 12 Februari 2020 kemarin, proposal Program Legislasi Nasional (prolegnas) Tahun 2020 diajukan pemerintah ke DPR. Pemerintah dalam hal ini berupaya memangkas, menyederhanakan, dan menyelaraskan berbagai regulasi demi menarik investasi. Upaya ini pun menghasilkan sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja (Omnibus Law).Â
Pada Senin, 5 Oktober 2020, DPR mengesahkan RUU Cipta Kerja ini menjadi Undang-Undang (UU). Proses persalinan ini tidak tanpa polemik. Sejak UU Cipta Kerja disahkan pada Senin, 5 Oktober, polemik, hoax, undangan demo, dan kericuhan memanas dan memuncak pada Kamis, 8 Oktober 2020. Pertanyaan saya adalaha: "Bagaimana mungkin niat baik pemerintah dengan strategi Cipta Kerja dan Lapangan Kerja direspon dengan penolakan?"
Nama UU yang mengantong polemik ini, hemat saya sudah memberi gambaran jelas tentang fungsi, tujuan, dan harapan bangsa ini. UU Cipta Kerja. Apalagi yang sebetulnya dipermasalahkan? Mekanisme UU Cipta Kerja sudah berorientasi pada penyediaan lapangan kerja. Dengan memangkas, merampingkan, dan mengatur ulang regulasi yang ada, peluang investasi bisa secapatnya mendarat di Indonesia.Â
Secara sederhana, ada 12 klaster pembahasan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, antara lain: penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, kemudahan pemberdayaan, dan perlindungan UMK-M, kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, investasi dan proyek pemerintah, dan rencana kawasan ekonomi. Dari 12 klaster pembahasaan ini, jelas terlihat bahwa pemerintah sungguh-sungguh berorientasi pada kesehatan ekonomi dan kesejahteraan bangsa ini.