Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Sah! "RUU Cipta Kerja" Menjadi "UU Cipta Resah"

6 Oktober 2020   22:27 Diperbarui: 6 Oktober 2020   22:36 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Undang-Undang Darurat lahir saat masa darurat. Setting persalinan UU Cipta Kerja memang serba darurat. Pertama, Indonesia darurat Covid-19 (kesehatan). Kedua, Indonesia darurat kesejahteraan (ekonomi). Ketiga, Indonesia darurat keamanan (cyber crime). Keempat, Indonesia darurat kepercayaan (mafia-korupsi), dan kelima, parlemen Indonesia tengah darurat (bikin resah saat pandemi).

Kejar tayang pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja tuai resah. Bagaimana tidak, UU ini dipres sedemikian rupa agar cepat tayang. 

Sesuai dengan kontennya, UU Cipta Kerja diprioritaskan demi perampingan birokrasi yang katanya terlalu berbelit-belit dalam menyambut tamu investor asing. Karena demi perampingan, jangan salah waktu pembahasannya juga harus ramping. Semuanya perlu dipangkas. Jangan terlalu berbelit-belit. Waktunya pun, bila perlu sesegera mungkin. Apalagi ditambah situasi pandemi sekarang. Darurat. Alhasil, ketika disahkan pada Senin, (5/10/2020), RUU ini menuai resah dari publik.

Sesuai prospek, RUU Cipta Kerja merupakan RUU yang diusulkan Presiden dan merupakan RUU Prioritas Tahun 2020 dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2020. Karena menjadi RUU Prioritas Tahun 2020, sah-sah saja, UU ini kebelet dibundel dan ditayangkan. Dari proses pembahasan hingga munculnya draf RUU, RUU Cipta Kerja sudah menuai polemik dan kritik dari publik. 

Ada begitu banyak pasal kontroversial yang justru merugikan buruh dan menguntungkan perusahaan. Dalam hal ini, kalkulasi "ballance" yang dianjurkan Jokowi pun jauh dari ekspektasi pengesahan RUU Cipta Kerja. Atau proyek persalinan RUU ini yang dimaksudkan dengan "mencari titik keseimbangan" oleh Pak Jokowi dalam video viralnya kemarin.  

Sebenarnya apa yang menjadi alasan kemendesakan disahkanya RUU Cipta Kerja ini? Salah satu alasan mendasar mungkin soal Prioritas RUU Tahun 2020. Mungkin juga karena demo buruh mulai merangkak dan mendekat. Mungkin juga, ada begitu banyak investor asing yang sudah mengantri untuk mulai menancap niat bergabung di Indonesia. 

Akan tetapi, jika mencermati cerita basa-basi soal rapat Badan Musyawarah (Bamus) di sela-sela persiapan pengesahan, ternyata alasan lockdown DPR yang menjadi dasar kemendesakan. Banyaknya anggota DPR, tenaga ahli, dan anggota staf yang positif Covid-19 membuat DPR tancap gas. "Jadi, pilihannya saat itu, DPR lockdown (ditutup) atau percepat rapat paripurna penutupan masa sidang sehingga anggota DPR reses ke daerah masing-masing," kata Amin AK, anggota DPR dari Fraksi PKS (Kompas, 6/10/2020).

Jika memang ini alasan mendasar mengapa RUU ini kebelet disahkan, hemat saya DPR justru cari nyaman. DPR memberi protkesi terhadap diri sendiri, tetapi mangabaikan jutaan nasib pekerja. Atau mungkin, DPR tak mau diganggu selama masa pandemi. Tapi, tahun ini kan masih ada sisa waktu. 

Bukankan DPR masih punya waktu dua bulan untuk membahas RUU Cipta Kerja lebih mendalam? Kenapa harus cepat-cepat? Revisi UU KPK tahun kemarin, kesannya juga kebelet. Hari ini, RUU Cipta Kerja, tetap saja kebelet. Mengapa semuanya jadi buru-buru? Kejar waktu rehat dan libur?

Melirik track record pembahasan, RRU Cipta Kerja masuk ke kotak Senayan pada Februari 2020 lalu. Usai menerima RUU ini dari pemerintah, DPR mulai melakukan pembahasan sejak 20 April 2020. Maka, jika ditakar, pembahasan hingga waktu pengesahan kemarin, Senin, (5/10/2020), RUU Cipta Kerja terbilang sangat cepat. 

Persisnya, pembahasan RUU Cipta Kerja di tingkat Panitia Kerja dilakukan pada Senin, 8 September 2020. Selanjutnya, pada Selasa, 9 September 2020, pembahasan RUU Cipta Kerja dilanjutkan di tingkat Tim Perumusan dan Tim Sinkronisasi. Pada Sabtu, 3 Oktober 2020, Pemerintah dan DPR sepakat menetapkan RUU Cipta Kerja melalui rapat pengambilan keputusan tingkat satu. Dan, pada Senin, 5 Oktober 2020 dalam Rapat Paripurna, DPR menyetujui RUU Cipta Kerja disahkan menjadi UU. Ini UU Darurat atau Darurat UU?

Proyek kejar tayang Prioritas RUU Tahun 2020 tentunya tak luput dari teriakan kritis masyarakat. Protes datang dari publik pertama-tama tidak hanya karena RUU Cipta Kerja dinilai tidak hanya berisikan pasal-pasal kontroversial, tetapi juga dinilai cacat dalam prosedur pembentukan. 

Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari menilai bahwa pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU justru mengesampingkan aspirasi masyarakat. Upaya ketergesaan DPR juga dinilai sebagai salah satu strategi mengahadapi debat publik dan polemik besar terkait isi UU. Maka, pandemi menjadi latar yang baik dan tepat disahkannya RUU Cipta Kerja ini.

Saya mencermati bahwa antisipasi demo dan aksi penolakan memang sudah disiasati oleh DPR sebelum proses pengesahan. Latar suasana yang darurat dan serba terbatas (dilarang berkerumun dan mengumpulkan massa), membuat UU ini lahir dengan selamat di gedung DPR. Akan tetapi, rencana ini rupanya tak berjalan mulus, mengingat pada Senin, (5/10/2020), demo dan aksi unjuk rasa menuntut penolakan RUU Cipta Kerja menjadi UU tetap digelar. 

Unjuk rasa di kawasan industri East Jakarta Industrial Park, Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat berhasil dilakukan. Dalam unjuk rasa ini, para pengunjuk rasa bersepakat dan mengancam untuk melakukan mogok kerja pada 6-8 Oktober mendatang. Sahnya RUU Cipta Kerja mengantong resah dari publik.

Aksi penolakan rupanya tak hanya datang dari publik. Di dalam tubuh Senayan sendiri, aksi walk out juga mewarnai prosesi pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU. Seperti yang diinformasikan, isi RUU Cipta Kerja didukung oleh seluruh partai pendukung koalisi pemerintah. Sedangkan, dua fraksi lainnya yang menyatakan menolak RUU menjadi UU Cipta Kerja, antara lain Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat. 

Tujuh fraksi partai pendukung yang menyatakan RUU Cipta Kerja tetap disahkan menjadi UU, antara lain Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Lalu, bagaimana dengan bunyi pasal-pasal yang disahkan ke dalam UU? Pasal 79, misalnya menyebutkan: "Hak pekerja mendapatkan hari libur dua hari dalam satu pekan yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan dipangkas." Pasal ini, sungguh menekan para pekerja untuk mengabdi kepada sebuah perusahan dan tuntutan-tuntutan kerja yang dibuat oleh pihak perusahaan. 

Artinya, dengan disahkannya RUU Cipta Kerja, pekerja siap-siap bekerja seperti mesin. Bunyi pasal ini mengingatkan kita pada watak sistem kerja dengan mekanisme budaya kapitalisme baru. Dalam budaya kapitalisme baru, kejar tayang menjadi tolok ukur keterampilan seorang pekerja. Jika tak sesuai target waktu kerja, dengan sendirinya, para pekerja siap-siap didepak keluar dari perusahaan. Dengan kata lain, UU Cipta Kerja semakin mempertegas status pengusaha sebagai penguasa.

Meski demikian, pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU tetap diapresiasi sebagian orang. Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani menilai RUU Cipta Kerja bisa mendorong perekonomian dan investasi melalui penciptaan lapangan kerja. Investasi bisa berjalan lancar jika proses masuk tidak terlalu birokatis dan berbelit-belit. Jika tak mau berbelit, dibuatlah UU yang tak berbelit-belit, ramping, dan cepat tayang. RUU Cipta kerja pun disahkan menjadi UU Cipta Resah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun