Proyek kejar tayang Prioritas RUU Tahun 2020 tentunya tak luput dari teriakan kritis masyarakat. Protes datang dari publik pertama-tama tidak hanya karena RUU Cipta Kerja dinilai tidak hanya berisikan pasal-pasal kontroversial, tetapi juga dinilai cacat dalam prosedur pembentukan.Â
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari menilai bahwa pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU justru mengesampingkan aspirasi masyarakat. Upaya ketergesaan DPR juga dinilai sebagai salah satu strategi mengahadapi debat publik dan polemik besar terkait isi UU. Maka, pandemi menjadi latar yang baik dan tepat disahkannya RUU Cipta Kerja ini.
Saya mencermati bahwa antisipasi demo dan aksi penolakan memang sudah disiasati oleh DPR sebelum proses pengesahan. Latar suasana yang darurat dan serba terbatas (dilarang berkerumun dan mengumpulkan massa), membuat UU ini lahir dengan selamat di gedung DPR. Akan tetapi, rencana ini rupanya tak berjalan mulus, mengingat pada Senin, (5/10/2020), demo dan aksi unjuk rasa menuntut penolakan RUU Cipta Kerja menjadi UU tetap digelar.Â
Unjuk rasa di kawasan industri East Jakarta Industrial Park, Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat berhasil dilakukan. Dalam unjuk rasa ini, para pengunjuk rasa bersepakat dan mengancam untuk melakukan mogok kerja pada 6-8 Oktober mendatang. Sahnya RUU Cipta Kerja mengantong resah dari publik.
Aksi penolakan rupanya tak hanya datang dari publik. Di dalam tubuh Senayan sendiri, aksi walk out juga mewarnai prosesi pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU. Seperti yang diinformasikan, isi RUU Cipta Kerja didukung oleh seluruh partai pendukung koalisi pemerintah. Sedangkan, dua fraksi lainnya yang menyatakan menolak RUU menjadi UU Cipta Kerja, antara lain Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat.Â
Tujuh fraksi partai pendukung yang menyatakan RUU Cipta Kerja tetap disahkan menjadi UU, antara lain Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Lalu, bagaimana dengan bunyi pasal-pasal yang disahkan ke dalam UU? Pasal 79, misalnya menyebutkan: "Hak pekerja mendapatkan hari libur dua hari dalam satu pekan yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan dipangkas." Pasal ini, sungguh menekan para pekerja untuk mengabdi kepada sebuah perusahan dan tuntutan-tuntutan kerja yang dibuat oleh pihak perusahaan.Â
Artinya, dengan disahkannya RUU Cipta Kerja, pekerja siap-siap bekerja seperti mesin. Bunyi pasal ini mengingatkan kita pada watak sistem kerja dengan mekanisme budaya kapitalisme baru. Dalam budaya kapitalisme baru, kejar tayang menjadi tolok ukur keterampilan seorang pekerja. Jika tak sesuai target waktu kerja, dengan sendirinya, para pekerja siap-siap didepak keluar dari perusahaan. Dengan kata lain, UU Cipta Kerja semakin mempertegas status pengusaha sebagai penguasa.
Meski demikian, pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU tetap diapresiasi sebagian orang. Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani menilai RUU Cipta Kerja bisa mendorong perekonomian dan investasi melalui penciptaan lapangan kerja. Investasi bisa berjalan lancar jika proses masuk tidak terlalu birokatis dan berbelit-belit. Jika tak mau berbelit, dibuatlah UU yang tak berbelit-belit, ramping, dan cepat tayang. RUU Cipta kerja pun disahkan menjadi UU Cipta Resah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H