Dari kebiasaan ini, watak dan kualitas pesta demokrasi kita pun jauh dari kegembiraan. Jauh dari ketenangan. Jauh dari kedamaian. Sebaliknya, dekat dengan pertikaian, cekcok, tumpah darah, dan luka. Kita justru hanya mengambil unsur momen dari konsep pesta. Kita tak pernah sampai pada makna ideal dari pesta itu sendiri.
Jika kita menyebut pilkada sebagai pesta demokrasi, tolong perlihatkan suasana pestanya. Mana kegembiraan dari pesta itu? Benarkah di ruang pesta orang saling melempar caci maki? Benarkah hal esensial dari pesta itu soal tumpah darah?
Saya memang sering menghadiri pesta, tapi saya tak pernah datang dengan file kata-kata makian. Saya tak pernah datang, lalu memfitnah tuan pesta dan undangan lainnya. Saya selalu datang untuk bersukacita. Saya datang, karena saya tahu pesta itu identik dengan kegembiraan, sukacita, dan paling penting persaudaraan.
Jika saya tahu pesta identik dengan kericuhan dan jauh dari sukacita, saya bakal mengurung niat untuk ikut selebrasi. Bagaimana kita berminat untuk ikut berpesta, jika inti pestanya adalah soal kompetisi, saling sikut, cekcok, ricuh, fitnah lalu mengarah ke tumpah darah?
Ketika anjuran untuk melakukan kampanye daring diberlakukan, pandemi kata di media sosial dan media daring pun menjadi heboh. Masing-masing paslon melakukan kampanye dengan mekanisme fitnah, menjelek-jelekkan sesama, dan merajam sesama dengan kata. Lagi-lagi, pesta demokrasi dengan mekanisme apapun, selalu menciptakan kericuhan.
Sekali lagi, kita tengah menyosong pesta demokrasi. Persiapannya sudah dan sedang dimulai. Arahnya adalah kesejahteraan dan kebaikan bersama. Caranya pun harus santun, nyaman, dan damai, sebagaimana semua undangan diperlakukan baik oleh tuan pesta selama pesta berlangsung.
Semoga pesta demokrasi kita berlangsung aman dan damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H