Dalam orasi ilmiah ketika pengukuhannya sebagai guru besar tetap Universitas Lampung (Unila), Prof. Ag. Bambang Setiyadi, M.A., Ph.D. mengatakan, pengajaran bahasa Inggris secara umum bisa dikatakan gagal. Hal ini disebabkan mayoritas lulusan SMA tidak mampu menggunakan bahasa Inggris untuk berkomunikasi.
KATA gagal dalam pernyataan ini sempat menimbulkan pro dan kontra, baik kalangan sesama akademisi di kampus, guru, maupun siswa-siswi lulusan SMA. Setiap pihak tentu mempunyai argumentasi masing-masing.
Pihak akademisi di kampus tidak mau dianggap menghasilkan lulusan yang tidak mampu mengajar siswa-siswi di sekolah sampai memiliki kompetensi bisa berkomunikasi secara lisan dan tulisan dalam Bahasa Inggris.
Guru bahasa Inggris merasa tidak mendapatkan apresiasi atas kerja kerasnya di sekolah, tidak berhasil, dan tak mau dikatakan tidak bisa mengajar. Sementara siswa-siswi juga berargumentasi kalau memang tuntutan pembelajaran sudah berbeda. Mereka tidak merasa perlu bisa berbicara bahasa Inggris untuk lulus dari SMA.
Dalam pengukuhan guru besar tetap Unila dari jurusan Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Unila yang selanjutnya, Prof. Dr. Patuan Raja, M.Pd. dan Prof. Dr. Cucu Sutarsyah, M.A., permasalahan ini kembali diangkat. Keduanya mengonfirmasi pernyataan Prof. Ag. Bambang Setiyadi, M.A., Ph.D. dan mengatakan kalau ujian nasional (UN) yang diamanatkan UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas Pasal 58 Ayat (2) turut berkontribusi pada kegagalan pengajaran bahasa Inggris.
UN menjebak guru untuk lebih memfokuskan diri pada kemampuan mengerjakan soal bacaan (reading comprehension). Hal ini menyebabkan guru tidak memedulikan kemampuan berbicara (speaking) siswa.
Permasalahan Proses Pembelajaran dan Indikator Keberhasilan
Bila dilihat lebih jauh, pernyataan ketiga guru besar Unila tersebut memang merefleksikan hasil pilihan pola pengajaran bahasa Inggris yang dipilih guru selama ini di SMP dan SMA. Selain itu, juga kekeliruan indikator keberhasilan pembelajaran yang selama ini dipakai. Secara umum, terdapat dua pola yang berbeda dalam pengajaran bahasa Inggris di Indonesia.
Pola pembelajaran yang pertama bertujuan membuat siswa bisa mengerjakan tes tertentu. Sementara, pola pembelajaran yang kedua bertujuan membikin siswa bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris.
Dalam konteks pendidikan informal, pola pembelajaran pertama umumnya bisa dilihat di lembaga bimbingan belajar seperti di Ganesha Operation (GO), Primagama, Nurul Fikri (NF), Medika Wiyata, dan Al-Qolam. Sementara, pola kedua bisa kita temui dalam proses kegiatan belajar-mengajar di lembaga kursus bahasa Inggris. Seperti EF English First, ILP, LBPP-LIA, Education Bridge, dan Intensive English Course.
Di lembaga bimbingan belajar, guru bahasa Inggris fokus membuat siswa bisa mengerjakan soal-soal seperti ujian nasional (UN) dan seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN). Materinya pun kemudian hanya sebatas mengerjakan soal tata bahasa (grammar) dan wacana (reading comprehension). Kegiatan belajar-mengajar juga disampaikan dalam bahasa Indonesia.
Hal ini tentu berbeda dengan lembaga kursus bahasa Inggris. Di EF dan LIA misalnya, tujuan pembelajaran pada umumnya didesain untuk membuat siswa bisa berbicara (speaking). Sehingga, penggunaan bahasa Indonesia di kelas pun sebisa mungkin dihindari. Memang, mereka juga mempunyai program bimbingan tes seperti TOEFL/TOEIC/IELTS. Tetapi tentu jauh berbeda dari UN dan SNMPTN. UN dan SNMPTN hanya menguji kemampuan memahami wacana dan tata bahasa. Sementara TOEFL/TOEIC/IELTS menguji semua kemampuan berbahasa; berbicara, mendengarkan, menulis, dan membaca.