Nostalgia Suasana Ramadan Masa Kecil
Sekitar tahun 2000an, ketika saya masih SD, permainan tradisional masih menjadi hiburan.
Sebelum Ramadan
Tak jarang saya dimarahi karena main tanpa ingat pulang dan makan.Â
Di masa itu, permainan lompat karet masih menjadi permainan gabungan putra dan putri.
Berbeda dengan permainan kelereng yang didominasi maskulinitas anak laki-laki atau permainan congklak yang menghitung biji di tiap lobang yang identik feminin.
Ada momen kami beramai-ramai memanjat pohon jambu monyet/jambu mente, jambu bol, jambu bandar (jambu berwarna putih berbentuk seperti jambu jamaica), jambu air, jambu biji, manggis, rambutan, rambai ataupun pohon berbuah lainnya.
Ada yang memanjat dan menjatuhkan buah ke bawah. Ada yang bertugas menangkap operan buah dari atas. Jika terampil dan sigap, tak susah-susah mencuci buah. Langsung santap dari pohonnya. Biasanya, buah ini dinikmati dengan kecap-cabe atau garam-cabe.
Pulang sekolah, pekerjaan rumah jadi beban jatah bermain. Tidak ada ponsel. Tidak sibuk dengan play station. Masih jenis interaksi personal dan massal, face to face.
Setelah siang bermain, lalu pulang ke rumah. Sorenya kami mandi ke kolong, sejenis empang bekas tambang timah yang sudah ditinggalkan. Airnya jernih kebiruan, ada ikan, tak ada buaya dan jadi tempat berenang.Â
Tentu saja dijadikan tempat bermain. Lomba renang bagi yang jago renang, biasanya anak laki-laki.
Siapa yang cepat larinya dan bisa berenang akan melakukan kombinasi lari dan nyebur ke kolong dalam permainan kejar-kejaran.Â
Menjelang Magrib, beramai-ramai menuju surau untuk mengaji.
Begitu masuk Ramadan, jatah waktu bermain justru bertambah. Biasanya main sepulang sekolah, kini jadi sebelum sahur kira-kira pukul 04.00 dini hari.
Â
Bukannya fokus sahur, tapi justru ingin turut tur jalan kaki dengan teman-teman di sepanjang kampung.
Baru saja bangun sahur, teman-teman sudah ramai memanggil-manggil.
Begitulah yang kami lakukan, sepanjang jalan kampung. Memanggil setiap nama teman yang rumahnya kami lewati, seperti absen saja.
Tidak dengan kentongan, gerombolan anak laki-laki justru membawa mercon. Kami anak perempuan hanya memekik menghindar kalau mereka iseng melemparkan mercon tak jauh dari jalanan.
Namun, tidak ada korban jiwa. Karena mercon hanya digunakan untuk membangunkan warga yang belum sahur.
Tak jarang mereka dimarahi tuan rumah yang jalanannya jadi ribut. Biasanya itu pertanda karena ada bayi yang kaget dengan suara mercon.
Saat itu, entah siapa yang pertama memulai jalan santai gelap hari seperti itu.
Begitu sudah SMP, dengan sendirinya kami lebih memilih tidur setelah sahur. Jalanan pun mulai sepi. Entah apa kabar jalan santai dini hari ini saat ini. Masih eksis atau sudah terganti youtube atau PUBG.
Mengenang Belinyu
Sungailiat, 01.40 puasa ke-7 1442 H/2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H