Mohon tunggu...
Kristia N
Kristia N Mohon Tunggu... Guru - Penyuka kata

Menuang rasa, asa menjadi kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bila Tidak Mengharumkan, Janganlah Mempermalukan

17 Maret 2021   06:36 Diperbarui: 17 Maret 2021   06:38 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar (c) Maxime Billon di flickr.com

Akhir-akhir ini, bila diperhatikan, Indonesia kita yang dikenal sebagai bangsa yang ramah senyumnya, seperti berganti pribadi.

Sebuah channel berita luar negeri-Indonesia mengabarkan, Indonesia dengan netizen tak beradab sebab menduduki peringkat 29 dari 30-an negara dalam etika berkomentar dunia maya.

Seorang lelaki tega menghancurkan masa depan putri kecil kandungnya sendiri. Ia memang dibalik jeruji. Namun putrinya seperti telah kehilangan wajah berseri. Mungkin, ia akan hidup dalam trauma entah sampai kapan. Tidur ketakutan. Semoga ia melupakan trauma keji dan menjadi pribadi berani ketika dewasa nanti.

Enam pemuda, tewas dengan masing-masing peluru di dada dan melepuh selangkangan tanda perlakuan tak dibenarkan. Tak cukup sampai di situ, bahkan merekalah yang menjadi tersangka.

Ketika musyawarah dalam suatu anggaran dasar rumah tangga suatu kelompok politik berganti menjadi mengganti pimpinan baru tanpa seni bermufakat. Tak ada lagi duduk saling tukar pendapat.

Udang dikorupsi, kitab suci dikorupsi, KTP dikorupsi, pajak disuap lolos seleksi, kenalan jadi jalan gratifikasi.

Jika bicara perilaku seseorang yang mengaku berbangsa Indonesia,  mestinya kita bertanya guru pendidikan kewarganegaraan.

Jawabannya biasanya, menjadi bangsa yang baik, tercermin dengan rasa cinta tanah air atau rasa nasionalisme. Sikap ini dibuktikan dengan menjaga nama baik negeri sedapat mungkin. Dapat dengan mengukir prestasi di kancah internasional, ataupun bertindak tanpa pamrih membangun atau menjaga warisan negeri. Begitu juga dengan menebar pengaruh baik di manapun ia berada.

Sikap berbangsa dicerminkan dengan melindungi negerinya dari ancaman, baik dari luar ataupun dari dalamnya. Maka, jika seseorang mencintai negerinya, ia tidak akan mudah diadu domba, mudah terhasut ataupun menyikapi perbedaan dengan kebencian.

Fenomena kecebong yang dirujuk pada pro pemerintah fanatis atau kadal gurun (kadrun) kepada agamais yang mengkritisi pemerintah, sungguh menggelikan.

Ketika memang cinta Indonesia, mestinya kubu penilaian jalannya pemerintahan ini menjadi nilai penguat untuk penyemangat dan pengingat, bukannya malah menjadikan gelar netizen tak beradab, lupa santun dalam media sosial.

Judul-judul berita yang memberitakan hal tadi, seperti belatung yang menggerogoti koreng yang tak terurus. Harus dibersihkan, diberi perawatan. Memgapa?

Susah payah, generasi muda Indonesia mengharumkan negeri kita dengan olahraga, matematika hingga dengan mengaji di kancah dunia.

Berkorban waktu dan gaji seadanya, para guru mendidik generasi agar berwawasan sekaligus berbudi luhur, dari dalam negeri hingga sekolah Indonesia di luar negeri.

Bermandi darah, pendahulu kita mengibarkan bendera dari penjajah agar merdeka. Soekarno dan Hatta mewakilkannya dengan cerdas, menghargai ulama, cerdik bernegosiasi dengan dunia untuk mengakui kita bangsa bernegara.

Apa yang ditampilkan Indonesia saat ini, karena kita-kita ini, membuat tidak berarti perjuangan-perjuangan itu.  

Sudah saatnya kita berubah.

Jika kita tak bisa mengubah sebuah negeri, setidaknya kita bisa mengubah diri kita. Cerminkan bahwa kita adalah bangsa Indonesia yang berbudi pekerti.

Dapat dengan berkomentar santun di media sosial sebagai netizen.

Tak memancing atau menyebar kebencian ataupun berita bohong ataupun berita bersumber tak relevan.

Di masa pandemi media virtual menjadi perpanjangan eksistensi kita. Pendidikan jarak jauh salah satu contohnya.

Bagi generasi harapan bangsa, pelajar ataupun mahasiswa, jalani dan jiwai proses belajarmu, meskipun begitu melelahkan ataupun membosankan karena hanya melalui sekeping ponsel cerdas.

Tantangan, ujian dan cobaanmu tidaklah mudah.
Proses belajarmu mandiri dan terisolasi. Di depanmu ada tugas yang menanti sekaligus ada PUBG yang lebih diminati.

Jika kau mampu mengendali belajar dan kesenangan hati, kau bisa membawa harum negeri.

Pembelajaran, mengisi otak dari tiada jadi berisi. Permainan, mengasah seni hidup agar stres terhindari.

Jangan terbalik. Yang kaya pemilik PUBG, jangan sampai yang memakai PUBG malah sibuk main, otak tak diisi.

Ijazah dikeluarkan dati uji materi pelajaran bukan materi PUBG. Kau mau kerja, ada seleksi teori, wawancara, dan psikologi, bukan ditanya skill dewa PUBG.

Kau mau makan dan kelak memberi makan anak istri dengan bekerja, bukan dengan poin menang kalah PUBG.

Berbangsa yang benar, duhai politikus. Sebelum melengserkan saudara sendiri, coba tanya diri sendiri. Kalau kau yang dibegitukan, apa tetap itu dibenarkan. Lagi pula pimpinan baru apa terjamin akan menjadi pemimpin pemerintahan prospektif?

Apa iya, orang-orang akan memilih calon presiden atau pemimpin daerah yang sejarah politik kelompoknya sendiri sedemikian dramatis?

Andaikan kelompok politiknya kelak adalah pemerintahan. Lantas, apa karena mosi tak percaya, akan ada kudeta juga?

Ketuhanan yang Mahaesa ialah pancasila sila ke satu. Lantas, ketika ada diri dan kelompok beragama hendak merengkuh Esanya, di pagi subuh, mengapa dibuat tidur di dalam bumi? Bukan hanya satu, tapi enam. Demikiankah cara membela diri?

Manusia sering melakukan pembenaran atas hal yang ia lakukan. Namun kerap kurang menimbang posisi pada peran yang diperlakukan.

Jika sudah hilang pertimbangan, hilanglah simpati dan empati. Hidup bukan lagi agar sama-sama suka, harmoni atau serasi. Mari kembali menjadi bangsa Indonesia yang ramah.

Belinyu 01.38

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun