Mohon tunggu...
Kristia N
Kristia N Mohon Tunggu... Guru - Penyuka kata

Menuang rasa, asa menjadi kata

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Pen-chat Budiman Bagian ke-2

7 Februari 2021   14:31 Diperbarui: 7 Februari 2021   16:43 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada tulisan sebelumnya, dijabarkan standar kesopanan chatting yang lazim digunakan. Standar itu lebih mengarah pada kalimat pra konten, konten dan pasca konten pengiriman pesan. Jika diandaikan sebuah cerpen, tulisan kemarin membahas unsur intrinsik chatting. Sedangkan pada tulisan kali ini, akan dibahas hal-hal di luar konten chatting, tetapi tetap menjadi faktor penentu keberhasilan atau kegagalan komunikasi. 

Tulisan sebelumnya lebih membahas keterampilan etika individu pada individu lainnya. Kali ini, chatting akan dikupas menjadi tindakan individu yang berpengaruh atau dipengaruhi individu sekitarnya sebelum berkomunikasi dengan inndividu lainnya. Bisa diandaikan, walaupun seseorang sudah mengetahui unsur instrinsik dalam menulis pesan, jika ia tidak menerapkan unsur ekstrinsik yang akan kita bahas; komunikasi bisa saja gagal, entah dengan kesalahpahaman atau konflik--tak peduli makna dan pesan sudah tersampaikan--. Apa gerangan unsur ekstrinsik chatting ini?

Pertama, lihat waktu. Jika pengguna chatting adalah seorang budiman nan sopan, ia tentu bisa menempatkan diri. Semendesak apapun pesan atau berita yang ingin disampaikan, jika tertera pukul 21.00 WIB ke atas, ia akan memilih menundanya hingga esok hari. Meskipun tidak ada aturan mutlak mengenai hal ini, pemilihan waktu yang tidak tepat bisa menjadi persoalan.

Misalnya, seorang mahasiswa mengirim pesan dengan konten yang sudah budiman. Isi pesan tersebut menurutnya begitu mendesak. Ia ingin memastikan apakah sang dosen besok hadir ke kampus atau tidaknya karena ia perlu bimbingan kemajuan skripsinya. Saking sibuknya mengerjakan skripsi, ia sampai lupa untuk konfirmasi di siang hari dan baru sempat mengirimi pesan pada 22.00 WIB. Bagaimana respon sang dosen?

Jika memang sang dosen senang membangun kepribadian mahasiswanya, ia akan membalas pesan sang mahasiswa. Besoknya, secara halus, anak muda ini akan diberi arahan dan diingatkan mengenai batasan waktu berkomunikasi yang budiman. Namun, jika anak muda yang tak polos lagi---mengenang ia sudah di tingkat akhir, bukan mahasiswa baru lagi---bertemu dosen kritis nan dingin; kena semprotlah dia karena hal itu dianggap kurang ajar.

Pewaktuan budiman ini barangkali, tidak berlaku pada urusan yang benar-benar mendesak. Tidak ada istilah pen-chat budiman bagi petugas kesehatan. Terlambat informasi satu detik, ibarat bunga terpetik, hilanglah sebuah kehidupan. Demikian pula bagi para pemegang keputusan penting. Bayangkan jika perjanjian perdamaian Taliban dan Amerika Serikat ternyata putus di masa Presiden Joe Biden. Sedetik putusan dibuat, sedetik setelahnya, informasi ini harus dikabarkan, tindakan pun dilakukan, sebuah negara dapat mengalami penjajahan dan hilang perdamaian.

Selanjutnya, lihat psikologi lingkungan. Poin ke dua ini juga lebih berpengaruh. Bisa diandaikan, pesan sudah sopan, pewaktuannya sudah budiman, tetapi jika kita tak pandai mengira-ngira psikologi lingkungan sang penerima pesan, konflik tak terelakkan.

Misalkan, seorang ibu mem-post status facebook untuk menjual jagung. Kemudian, seorang pembeli lawan jenis pun memesan. Sederhananya, transaksi dapat dilakukan di kolom komentar status tersebut yang terlihat di muka umum yang dapat aman dari fitnah. Pemesanan juga dapat dilakukan via inbox facebook atau messenger secara privat, tetapi ini beresiko.

Situasi berjalan jauh, barangkali karena tidak cepat tanggapnya respon balasan sang pembeli, transaksi jadi mengenai banyak aspek, via chat whatsapp, voice call bahkan video call. Kemudian ada respon dan akhirnya katakanlah dua kilogram jagung pun berpindah tangan dengan cara janji temu di suatu pinggiran jalan.

Apa yang menjadi persoalan di sini? Resiko apa yang dimaksud? Di mana letak kurang budimannya komunikasi tadi? Seperti lapisan puncak gunung, hal ini tampak wajar saja. Namun, di bawah permukaan kaki gunung, siapa yang tahu.

Video call yang merupakan cara panggilan yang mempertemukan wajah dengan wajah, bila dilihat dalam aspek agama; kecuali benar-benar terdesak, terjadinya aktivitas apapun yang melibatkan sepasang lawan jenis yang bukan mahrom dapat menimbulkan fitnah. Fitnah ini bisa berujung konflik bak benang kusut yang sulit diuraikan. Hanya wajah halal yang boleh melihat wajah halalnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun