Mohon tunggu...
Kristanti Wardani
Kristanti Wardani Mohon Tunggu... wiraswasta -

Arkeolog yang tak lagi bersahabat dengan kotak gali. Sekarang lebih menekuni kegiatan bersepeda dan plesiran untuk meramunya menjadi bahan dongeng.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Geliat Pariwisata di Pesisir Gunung Kidul

14 Januari 2015   03:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:12 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_390564" align="aligncenter" width="300" caption="Seorang pengunjung menikmati pesisir pantai Gunung Kidul dari atas bukit"]

14211538761417946642
14211538761417946642
[/caption]

Saya cemas dengan alih fungsi bukit-bukit karst menjadi hunian berupa villa atau resort. Ketika makin banyak bukit yang digerus maka sama artinya dengan kian besar jumlah permukaan karst yang dikupas. Padahal, menurut beberapa sumber yang saya baca, kawasan karst yang terdiri dari susunan batugamping berwarna putih merupakan area penyimpanan air. Sepintas kawasan ini memang terlihat kering dan susah air, namun jauh di bawah permukaan terdapat sungai bawah tanah yang mengalirkan air yang sangat jernih.

Kegiatan mengubah lahan bukit karst menjadi deretan hotel, resort, atau bungalow secara massif dipastikan akan  menghilangkan fungsi batugamping untuk menyimpan air dalam waktu yang cukup lama. Artinya, hilangnya sumber air bawah tanah sebagai penopang kehidupan di Gunung Kidul. Sementara itu, untuk memulihkan kerusakan, tidak cukup waktu 10-20 tahun, dibutuhkan waktu hingga ribuan tahun.

Pemandangan akan giatnya alih fungsi lahan karst di Gunung Kidul memanggil ingatan saya di tahun 2008. Saat itu, saya berkemah dengan beberapa kawan di  salah satu pantai di Gunung Kidul. Kawasan tersebut masih sepi pengunjung. Pembangunan infrastruktur pariwisata belum terasa.

Namun, berselang enam tahun sudah begitu banyak perubahan yang terjadi demi menjawab kebutuhan para wisatawan. Bisa dibayangkan dengan sederhana kira-kira bagaimana wajah kawasan ini sepuluh tahun mendatang, jika tak ada aturan pemerintah yang ketat untuk alih fungsi lahan di kawasan karst ini.

Hal yang tak berubah dari dulu ialah masalah retribusi. Meskipun sudah dijadikan satu pintu, ternyata tak menjamin hilangnya celah korupsi. Saya sengaja tak menghitung jumlah tiket yang diberikan petugas ketika selesai membayar. Hanya untuk membuktikan beberapa berita yang pernah saya baca terkait korupsi retribusi pantai-pantai Gunung Kidul.

Petugas loket menanyakan jumlah rombongan lalu memberikan potongan untuk satu kepala. Jika sesuai dengan yang ditetapkan maka tiap orang harus membayar Rp 10.000. Angka tersebut terdiri dari tiket masuk ke Pantai Baron, Kukup, Sepanjang, Drini, Krakal, Sundak, Pulangsawal, dan Poktunggal senilai Rp 9.500 serta Rp 500 untuk asuransi.

Namun, ketika saya membayar Rp 50.000 untuk kami yang berjumlah enam orang, tiket yang diberikan ternyata hanya untuk dua orang ditambah dengan tiga asuransi. Total dari bukti pembayaran yang saya terima ialah Rp 20.500. Sisanya? Sudah pasti menguap ke kantong petugas. Saya tak berburuk sangka. Coba bayangkan jika itu berlaku pada rombongan bis. Menurut portal sorotgunungkidul.com pada 2014 retribusi pantai hilang setengah miliar lebih. Wow!

Jumlah yang cukup besar untuk membayar dampak pariwisata yang dihasilkan. Uang yang hilang tersebut bisa digunakan untuk membangun instalasi pengolahan air bersih atau pengolahan sampah (yang sebagian besar dihasilkan oleh pengunjung).

[caption id="attachment_390560" align="aligncenter" width="640" caption="Lahan hasil pemangkasan bukit, calon pusat penjualan cinderamata"]

14211535442075802706
14211535442075802706
[/caption]

Gunung Kidul semakin hari semakin sering didatangi wisatawan. Perlahan tapi pasti rupa kawasan ikut berubah. Sebagian lahan warga berpindah tangan kepada pemilik modal. Sumber air pun harus dibagi bersama dengan wisatawan. Belum lagi beban sampah non organik yang semakin banyak menambah beban kawasan. Namun beberapa warga yang melihat peluang juga mulai merasakan manfaat ekonomi dari kegiatan pariwisata ini. Juga beberapa oknum petugas pariwisata turut melestarikan “kebocoran” pendapatan dari tahun ke tahun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun