Pernah berada dalam satu situasi ketika orang dekat—entah teman atau kerabat—meminta gratisan atas hasil kerja yang sudah kita lakukan untuk mereka?
Saya pernah. Bahkan jika boleh sedikit berlebihan; sudah terlampau sering.
Saya punya pengalaman kurang mengenakkan dengan beberapa kawan yang dengan sangat tidak berdosanya “menawar” saya dengan harga murah, bahkan yang lebih bikin puyeng adalah minta gratisan atas jasa saya untuk mereka. Kira-kira bahasanya begini:
“Kamu kan penerjemah, bantuin saya nerjemahin abstrak dong.”
Atau
“Mbak, ada kerjaan nih. Tapi buat aku harga teman, kan?”
Eh, excuse me?
Kalau sudah menyangkut pekerjaan begini, tentu saja saya berharap ada pamrih yang diulungkan oleh teman kepada saya. Tapi kalau demikian ceritanya, minta gratisan saja maunya, saya kok merasa kurang dihargai ya.
Mas, Mbak, jasa saya dikomersilkan, lho.
Padahal, kalau sedikit saja mereka mau menengok proses kreatif (jiah, proses kreatif!) bagaimana saya bekerja, betapa mendidihnya kepala saya kala menggarap tugas yang mereka berikan, plus berdarah-darah pula, mungkin mereka akan malu. Tapi, ya, begitulah. Hal inilah yang menyebabkan saya sedikit aras-arasen nggarap gawean dari orang yang sudah dikenal. Kebanyakan minta diskon yang dilemanya susah saya tolak karena nggak enak.
Mungkin ceritanya akan jadi lain ketika tawaran datang dari saya sendiri. Pun saya beberapa kali pernah mengerjakan charity work alias proyek gratisan dengan rela hati. Sepertinya kebiasaan buruk selalu minta gratisan semacam ini harus mulai disingkirkan dari diri kita. Membayar hasil keringat teman dengan harga yang pantas, membeli karya mereka tanpa embel-embel “diskon ya!” adalah bentuk penghargaan tertinggi kita atas karya mereka.