Pada titik ekstremnya, saya menemukan berita yang dilansir oleh jogja.tribunnews.com (27 Januari 2018) dengan judul Tragis! Sering Di-Bully Lantaran Lama Jomblo, Pemuda Ini Depresi Lalu Nekat Gantung Diri dan tidak kalah ekstremnya, ada berita di JawaPos.com (30 Januari 2018) berjudul Kesal Ditanya Kapan Nikah, Pemuda Tega Bunuh Tetangga Sendiri. Sungguh tragis dan memprihatinkan.
Namun kasus-kasus seperti itu nampaknya tidak membuat banyak orang jera dan berhenti mengolok-olok jomlo. Persekusi verbal kepada kaum jomlo terus berlangsung. Apa sebenarnya yang terjadi?
Mari kita telisik dan bongkar ideologi para perundung jomlo dari berbagai segi.
Agresivitas sering kali merupakan ekspresi yang nampak di permukaan untuk menyembunyikan masalah yang akut. Barangkali ini yang terjadi. Â
Saya duga banyak pasangan yang tidak bahagia dalam pernikahan mengalihkan isu masalah mereka dengan merundung jomlo.
Bisa jadi juga mereka iri akan kebahagiaan dan kebebasan kehidupan jomlo. Kebahagiaan dan kebebasan – dua hal yang tidak mereka miliki.
Ketimpangan dalam relasi pasangan sudah jamak. Â Ada satu pihak yang mendominasi pihak lain. Bisa istri, bisa suami. Bisa pula bergantian.
Mereka pura-pura bahagia di hadapan para jomlo dan meniupkan kesadaran palsu ke para jomlo bahwa kehidupan menikah adalah nikmat dan nikmat sekali.
Watak mereka parpol sekali, suka memberi iming-iming, dan tidak bertanggung jawab atas kenyataan yang zonk kalau saran mereka untuk menikah dituruti.
Sejatinya mereka berusaha menarik para jomlo terperosok pada lubang yang sama.
Perundungan mereka itu bersifat diskriminatif. Mereka melakukan tebang pilih dalam aksi rundung mereka. Â Mereka tidak pernah atau barangkali tidak berani merundung para bhiku, romo, dan suster yang sejatinya secara teknis operasional adalah jomlo juga.