Mohon tunggu...
Krisna Wahyu Yanuariski
Krisna Wahyu Yanuariski Mohon Tunggu... Jurnalis - Pendongeng

Enthos Antropoi Daimon (Karakter seseorang ialah takdirnya)- Herakleitos Seorang cerpenis di kompasiana, ia juga penulis buku "Fly Away With My Faith", juga seorang Mahasiswa UIN SATU Tulungagung, ia juga jurnalis dan kolumnis di beberapa media. Instagram @krisnawahyuyanuar W.a 081913845095

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hujan Tak Lagi di Bulan Juni

29 Desember 2024   20:19 Diperbarui: 29 Desember 2024   20:33 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diatas 3.265 Mdpl,  tanggal 30 Desember 2024, ia melihat kabut yang bergerak serentak membayangi mentari yang berpijar harapan di bawah sana. Fendi terdiam merenung melihat, hujan sekarang tak hanya bulan juni melainkan bulan desember juga. Sapardi sudah merengkuh doa dalam puisi, menjadikanya tiada. Desember adalah hal paling berat bagi efendi, puncak derita yang dialami. Setelah kehilangan nenek tersayang nya, dalam keadaan sakit. Juga ibunya yang sempat sakit karena diabetes, tapi sudah sembuh, tapi kali ini ia pergi ke puncak, Ia harap ingin melihat dirinya sendiri, menghadapi ujian apa lagi  yang datang. Seperti seorang sisifus tokoh karya Albert Camus, seseorang yang mendorong batu sampai ke puncak, seperti itulah penderitaan manusia tak kunjung usai, bahkan absurd.

Adapun kunjungan nya di gunung lawu adalah menyamun doa- doa yang sudah basi ditelan kenyataan, bahwa ingin tak selalu menjadi kemauan. Ia duduk ditemani sebungkus Surya Nusantara kretek, dan secangkir kopi hangat.. mendaki seorang diri, adalah hal yang menakutkan kebanyakan orang, tapi efendi mampu menjalani itu semua.

Akhir tahun tinggal menghitung hari, banyak yang suka membakar- bakar makanan, reuni bersama keluarga, menyalakan petasan. Efendi hanya ingin sedikit membakar rasa pesimisnya terhadap dunia, kenyataan dan penderitaan. Juga ingin reuni bersama harapan dan cita- cita kecilnya dahulu yang sempat menghilang. Kemudian menyalakan doa dalam langit yang hujan.

Desember. Pukul 19.33  malam, kedua matanya menatap bintang- bintang ditengah hutan yang hujan, mata- mata yang meliris, embun- embun yang menangis. Ia membuka note menuliskan apa yang sudah dilaluinya. Kesendirian dalam puncak gunung membawanya dalam posisi tenang daripada merinding dengan adanya hantu. Menurut efendi hantu yang asli adalah ketakutan kita sendiri yang tak mampu untuk menghadapi dunia ini. Sebatang rokok dinyalakan ia, melihat galeri- galeri yang terisi, banyak hal yang tak ingin ia lihat tapi mau tak mau ia melihatnya. Sebagai sebuah pelajaran yang panjang.

Melihat bintang- bintang yang temaram, kedinginan yang menusuk punggung. Ia ingin berdoa dalam kesendirian. Bahwa ia tidak kehilangan dirinya. Tiada teman di puncak hanya angin- angin yang berseliweran menunggu pagi. Ketika mengingat perjuangan nya sebelum kepuncak, ia sempat tersesat dari jalur pendakian yang tak biasa. Tapi seekor gagak menemaninya sampai ke puncak dan ia berhasil selamat. Walaupun nyawa jadi pertaruhan nya. Akhirnya pukul 21.00 ia membereskan api unggun dan kemudian tidur di tenda dengan lelap.

Pukul 23.30, telepon nya berdering tapi pada posisi itu tidak ada sinyal sama sekali. Tapi entah mengapa telepon nya selalu berdering, dan ternyata ia salah menggunakan alarm yang seharusnya pukul 7 pagi malah kebangun pukul tengah malam. Suara berisik dalam rerimbunan semak- semak, ia yang bingung dan posisi bangun tidur yang mendadak, ia usapkan kedua matanya dengan telapak tangannya. Ia membuka tenda, melihat dari jauh semak seperti seseorang yang sendirian membawa obor api. Ia yang penasaran ingin menghampirinya, tanpa tahu waktu itu adalah tengah malam.

Hawa dingin menusuk kembali efendi, ia memakai jaket kemudian menghampiri sosok yang membawa obor tersebut. Perasaanya gelisah, diatas pucuk gunung, hanya dia seorang, lantas siapa yang membawa obor itu?

Ia berusaha mendekatinya ternyata orang yang membawa obor itu duduk di potongan kayu. Ia menghampirinya ternyata ada seorang pria tua, dengan janggut putih berpakaian jaket kuno, bercelana jeans lama, kedua mata pembawa obor itu serius menatap efendi seolah sudah tahu, bahwa efendi akan kesitu.

*Bunyi burung hantu, jangkrik muncul tiba- tiba dengan keras*

Efendi yang kedinginan sambil menutupi tubuhnya dengan selimut. Kemudian duduk disebelah pria tua itu. Kemudian pria itu hanya sedikit tertawa kecil.

"Jangan takut, aku sudah lama disini, namamu efendi kan?" Pria itu tidak terlihat seperti pria menakutkan. Dari wajahnya ia sangat ramah sekali.

"Bagaimana tuan bisa tahu nama saya?" Efendi yang heran, padahal disekitar sini tiada orang sama sekali.

"Oh ya, aku tahu ketika kamu pergi disini sendirian, memang hidup sangatlah berat jika dirasakan, tapi ketika kau mendaki kau tak akan merasakan berat itu, kau sangat hebat sendirian disini, maka daripada itu aku mendampingi mu"

 Efendi masih heran dengan pria itu, tidak mungkin ada perumahan warga disini. Ini sudah di puncak, sedangkan perumahan warga harus turun 1 km dari pos ini. Ia yang heran dan sedikit gelisah. Hanya mengangguk dan melihat pria itu yang sedang asyik membawa obor dan menyalakan api.

"Kau kedinginan, lihatlah akhir- akhir ini hujan tak lagi di bulan juni, banyak di bulan desember, hahah lucu bukan?"

"Hmm iyaa pak seperti puisi Pak Sapardi"

"Namun desember itu, adalah kekuatan. Penderitaan bagi seorang manusia adalah hal yang pokok untuk menguatkan batin manusia.. seperti kita lihat api ini terus menyala, selagi ada kayu yang dibakar menjadikanya abu"

"Hmm iya.., mau tanya tuan dari mana, mengapa sendirian naik kesini dan ngepos di tempat ini dengan saya?" Tanya efendi yang masih kebingungan.

"Jangan takut aku bukan siapa- siapa dan tidak ingin menjadi siapa- siapa. Banyak yang bilang aku ini gila, tapi kurasa mereka yang gila, hidup bekerja tanpa menikmati alam yang indah ini,  aku berpesan kepadamu fen, janganlah merasa kehilangan diri, kau hanya pada fase mencari tujuanmu kembali, sesau dengan dirimu saat ini. Akhir tahun adalah akhir yang istimewa, bila kau menutup lembaran itu dengan keikhlasan dan sebuah pedoman untuk pembelajaran kedepan." Pria itu terlihat sangat bijak sekali, efendi seketika langsung teringat dan sadar bahwa dia juga memiliki keterbatasan, dan perjuangan keberanian lah yang membawanya ke puncak ini 

Pria itu memberikan sebungkus roti untuk efendi. "Aku kira kau lapar, ambilah roti ini, aku hanya punya ini. Dengarlah ini sudah tengah malam, makanlah biar tidak lemes. Hahaha" pria itu tertawa dengan hangat, dengan obor yang masih menyala di tangan kirinya, kayu- kayu sudah ditumpuk, kemudian pria itu melemparkan obornya. Dan api mulai merembet dan menjadikanya api unggun.

Efendi yang mencoba makan roti itu, tiba- tiba matanya menjadi mengantuk, tubuhnya semakin dingin. Ia lupa membawa rokok. Tak lama, ia tertidur di pinggiran potongan kayu buat duduk. Dan ia tidak sadar telah meninggalkan percakapannya dengan pria tua itu. Padahal hanya melahap secuil roti, ia bisa terlelap dadi tidurnya.

1 Januari 2025. Dalam berita lokal seorang pemuda hilang di puncak gunung lawu, berinisial E. Saat itu Tim SAR mencarinya di pos- pos terdekat tidak menemukan kecuali hanya tenda yang masih tegak berdiri, dan beberapa barang baju. Kemudian tidak lama Tim SAR menemukan seorang pemuda yang tertidur diatas kayu yang ditebang, dengan wajah yang pucat. Tim SAr Langsung membawa pemuda tersebut yang tidak lain adalah efendi. Ia diduga masih bernafas tapi seluruh badanya lemas, ia kedinginan. Setibanya dibawah. Ia dibangunkan diberi kehangatan oleh penduduk dan tim SAR, saat itu ibunya dan keluarganya telah menunggu dibawah. Ia hanya mengigau, dengan mengatakan "Terimakasih 2024", berulang kali diucapkannya. Setelah beberapa jam tidak sadar. Ia dibawa di rumah sakit, dan diinfus, kemudian pukul 23.30 keluarganya yang ada dalam ruangan, melihat efendi bangun perlahan, dan kedua matanya terbuka dan bertanya " kemana pria tua dengan obor itu?"

Sontak keluarganya kaget, tidak ada siapa- siapa disini. Keluarganya menceritakan bahwa ia mengalami hipotermia dan mengalami imajinasi dan menghangatkan tubuh ditempat pohon- pohon yang sudah ditebang.

Kemudian efendi hanga bisa bingung dan heran siapakah pria tua itu? Kemanakah pria tua itu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun