"Jangan takut, aku sudah lama disini, namamu efendi kan?" Pria itu tidak terlihat seperti pria menakutkan. Dari wajahnya ia sangat ramah sekali.
"Bagaimana tuan bisa tahu nama saya?" Efendi yang heran, padahal disekitar sini tiada orang sama sekali.
"Oh ya, aku tahu ketika kamu pergi disini sendirian, memang hidup sangatlah berat jika dirasakan, tapi ketika kau mendaki kau tak akan merasakan berat itu, kau sangat hebat sendirian disini, maka daripada itu aku mendampingi mu"
 Efendi masih heran dengan pria itu, tidak mungkin ada perumahan warga disini. Ini sudah di puncak, sedangkan perumahan warga harus turun 1 km dari pos ini. Ia yang heran dan sedikit gelisah. Hanya mengangguk dan melihat pria itu yang sedang asyik membawa obor dan menyalakan api.
"Kau kedinginan, lihatlah akhir- akhir ini hujan tak lagi di bulan juni, banyak di bulan desember, hahah lucu bukan?"
"Hmm iyaa pak seperti puisi Pak Sapardi"
"Namun desember itu, adalah kekuatan. Penderitaan bagi seorang manusia adalah hal yang pokok untuk menguatkan batin manusia.. seperti kita lihat api ini terus menyala, selagi ada kayu yang dibakar menjadikanya abu"
"Hmm iya.., mau tanya tuan dari mana, mengapa sendirian naik kesini dan ngepos di tempat ini dengan saya?" Tanya efendi yang masih kebingungan.
"Jangan takut aku bukan siapa- siapa dan tidak ingin menjadi siapa- siapa. Banyak yang bilang aku ini gila, tapi kurasa mereka yang gila, hidup bekerja tanpa menikmati alam yang indah ini, Â aku berpesan kepadamu fen, janganlah merasa kehilangan diri, kau hanya pada fase mencari tujuanmu kembali, sesau dengan dirimu saat ini. Akhir tahun adalah akhir yang istimewa, bila kau menutup lembaran itu dengan keikhlasan dan sebuah pedoman untuk pembelajaran kedepan." Pria itu terlihat sangat bijak sekali, efendi seketika langsung teringat dan sadar bahwa dia juga memiliki keterbatasan, dan perjuangan keberanian lah yang membawanya ke puncak iniÂ
Pria itu memberikan sebungkus roti untuk efendi. "Aku kira kau lapar, ambilah roti ini, aku hanya punya ini. Dengarlah ini sudah tengah malam, makanlah biar tidak lemes. Hahaha" pria itu tertawa dengan hangat, dengan obor yang masih menyala di tangan kirinya, kayu- kayu sudah ditumpuk, kemudian pria itu melemparkan obornya. Dan api mulai merembet dan menjadikanya api unggun.
Efendi yang mencoba makan roti itu, tiba- tiba matanya menjadi mengantuk, tubuhnya semakin dingin. Ia lupa membawa rokok. Tak lama, ia tertidur di pinggiran potongan kayu buat duduk. Dan ia tidak sadar telah meninggalkan percakapannya dengan pria tua itu. Padahal hanya melahap secuil roti, ia bisa terlelap dadi tidurnya.