Mohon tunggu...
Krisna Wahyu Yanuariski
Krisna Wahyu Yanuariski Mohon Tunggu... Jurnalis - Pendongeng

Enthos Antropoi Daimon (Karakter seseorang ialah takdirnya)- Herakleitos Seorang cerpenis di kompasiana, ia juga penulis buku "Fly Away With My Faith", juga seorang Mahasiswa UIN SATU Tulungagung, ia juga jurnalis dan kolumnis di beberapa media. Instagram @krisnawahyuyanuar W.a 081913845095

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Semua Telah Berubah

9 Juli 2023   23:43 Diperbarui: 10 Juli 2023   00:35 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah pulang sekolah, seperti biasanya tas dilempar sembarangan, ibu marah- marah, ganti baju dengan cepat kemudian keluar dengan teman- temanku Ali, Rahmat, Irawan. Aku berlari dengan penuh semangat menyambut teman- temanya yang datang kerumahnya. Tetapi ibu selalu mengomel karena aku belum, makan siang. 

Tetapi aku tak menghiraukanya, pada hari ini aku hanya bertanya kita main apa lagi ya?. Setelah jam satu, menunggu teman - teman berkumpul, di lapangan dekat desa, Ali bertanya "dimana rahmat?, Kok hanya kamu doang wan." Irawan datang dengan nada kelelahan " Entahlah, aku tak tahu, tapi maaf menunggu lama, aku habis membantu ibuku sebentar." 

Tanpa berlangsung lama, sebuah bola yang disembunyikan dekat pos lapangan, Ali ambil kemudian mereka bertiga asyik bermain sepak bola. Setelah satu jam lamanya, mereka merasa bosan, dan irawan memberi ide untuk hari ini kita jelajah saja. Kemudian tak lama sepeda onthel datang dari arah timur, dengan kecepatan yang tidak bisa diduga "Gubrak.... !!, Ternyata sepeda itu adalah sepeda rahmat, yang tergelincir karena lapangan sebelumnya becek karena tergenang air. 

Mereka bertiga menertawai rahmat, "walah mat.. mat.. kalo sepedahan yang hati- hati, sudah tahu kalo becek" Kat Celoteh Ali sambil menertawai rahmat dan memegang perutnya. "Wkwkw.. mat- mat aku tahu, pasti kamu melarikan diri setelah membantu ibu, kemudian kamu disuruh mengerjakan PR sekolahkan ?" Sahut Irawan. "Loh kok tahu..?",

"Sebenarnya aku sudah berfirasat ketika melewati rumahmu kau, dan dibelakang kau asik dimarahi emakmu, ya udah aaku tidak berani menghampirimu, takut dimarahi emakmu aku." Kata Irawan.

"Oh dasar kau wan..", Akhirnya mereka berempat berkumpul, dan tidak banyak kata, mereka langsung berniat jelajah, kali ini yang dikunjunginya adalah persawahan.

Terik matahari mencekik tenggorokan, padi- padi mulai mengunging, pemandangan gunung talun, disertai kicauan burung- burung. Membuat mereka sejenak berhenti di gubuk dekat area persawahan itu. Mereka tiduran sambil bergumam di dalam hati masing- masing, karena kecapekan. 

Kebetulan tanpa disengaja rahmat, membawa minuman yang ia sembunyikan di tas kecilnya, ketiganya melirik minuman rahmat, dan mau tidak mau mereka serobotan ingin mengambil minuman itu. Tetapi ternyata rahmat membawa banyak kemudian dibagi rata, dan melerai pertengkaran kecil itu.

Setelah minum aku berdiri, "Lihat teman- teman, aku punya ide bagaimana kalau kita mancing belut saja, setelah kita dapat lalu kita bakar bareng- bareng". "Oke ide yang menarik" Jawab Ali.

Mereka bertiga pun memancing Belut, dengan menggunakan perlatan sederhana, tanpa di duga, mereka dapat belut satu per satu. Yang mana kemudian mereka mencari kayu dan menunpuknya dijadikan sate belut itu, kemudian kereka makan dan tertawa lepas.

Setelah asik bermain di sawah, Senja mulai hadir tanpa bisa ditebak, Langit yang mulai memerah, mereka pulang satu- persatu. Dalam perjalan, aku pulang melewati jalan yang kami lewati tadi sebelum kesawah. Yang mana juga melewati rumah- rumah bambu, sungai- sungai, warung makan mbok giyem yang khas dengan pelangganya yang ramai lalu lalang.

Tetapi ada yang aneh ketika aku pulang. Rumah bambu seolah berubah menjadi perumahan yang  elok, berjajar. Jalan menjadi aspal yang halus, sungai- sungai muncul dengan jembatan yang luas. Aku menapaki jembatan itu dan melewati perumahanya. Kemudian aku melihat  warung mbok giyem tutup, jaring laba- laba menyelimuti, atap gendengbyang bocor. Sempat aku bertanya kemanakah aku, apa aku salah jalan?

Selanjutnya aku terus berjalan menuju arah pulang ke rumah. Sebenarnya aku ingin berbalik arah mengunjungi rumah teman- temanku. Tetapi yang ada di jalan area pulang hanya ada rumah temanku Ali. Ketika aku sampai di depan gang rumah ali, aku berniat ingin membasuh muka saja di rumahnya. Aku masuk kedalam gang itu, tetapi tidak pernah ku lihat rumah Ali yang penuh kayu itu. Yang ada hanyalah rumah aneh dengan latar yang luas. Rumah itu berwarna merah, dan aku memanggil Ali. Ternyata Ali tidak ada dirumah sejak lama, dan kata orang dewasa yang menghampiriku, nama ali tidak tahu kalau pernah di rumah ini.. Aneh padahal tadi di lapangan bersama, dan ali pulang memakai sepedanya, dan aku hanya berjalan kaki. Pasti ia sampai duluan, tetapi malah ia tidak ada.

Akhirnya aku memutuskan pulang ke rumah, setelah sampai rumah, ternyata ibu juga tidak ada di rumah. Dan rumahku masih seperti biasa, aku sedikit pusing dan lelah bermain, ada yang aneh, kenapa  yang diluar serasa berubah. Tetapi aku tetap seperti biasanya?, Akhirnya aku mandi, dan minum air hangat yang ku buat sendiri, dengan bara api kayu yang ada. Aku meminunya dengan perlahan- lahan.

*Nada Telpon memanggil sambil bergetar*

Ternyata aku sudah dewasa, aku di depan teras rumah menatap langit, dan kuhisap rokok Suryaku. "Semua telah berubah, aku mengangkat telfonku, ternyata hanya suara admin bank yang mengingatkanku akan pinjamanku yang belum kubayar". Hari- hari terasa berat, hutang yang menumpuk, sementara aku hanya seorang pengangguran yang menantikan burung- burung datang. Wajah kerut ayahku dari sawah yang semakin nyata, dan punggung ibuku yang tidak bisa berdiri tegak. Aku hanya berdiam disini dengan perasaan tega. Keempat temanku, entah kemana, aku tidak pernah melihatnya sekarang, hari- hari aku lebih menghayati itu semua sebagi kenangan terindah yang tak terulang kembali. Karena "Semua telah berubah, dan aku masih sama seperti anak kecil yang lalu."

Jam menunjukan dua belas malam, aku masih bengong dan mengkhayal sesuatu yang sudah berlalu. Mungkinkah kesepian adalah takdir manusia, yang tak bisa dihindarkan?

Kemanakah mereka, apakah sudah berbeda, tetapi aku rasa, aku masih sama. Atau mereka yang berubah?, Entahlah aku ingin menjalani kehidupan ini seperti anak kecil dan menuntaskanbtanggung jawab seperti orang dewasa. Hutang harus lunas, kuliah harus selesai. Aku faisal yang sederhana tapi tidak ingin disederhanakan oleh perkatan mereka. Teman- teman kita tetap menjadi teman kan??

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun