Setelah asik bermain di sawah, Senja mulai hadir tanpa bisa ditebak, Langit yang mulai memerah, mereka pulang satu- persatu. Dalam perjalan, aku pulang melewati jalan yang kami lewati tadi sebelum kesawah. Yang mana juga melewati rumah- rumah bambu, sungai- sungai, warung makan mbok giyem yang khas dengan pelangganya yang ramai lalu lalang.
Tetapi ada yang aneh ketika aku pulang. Rumah bambu seolah berubah menjadi perumahan yang elok, berjajar. Jalan menjadi aspal yang halus, sungai- sungai muncul dengan jembatan yang luas. Aku menapaki jembatan itu dan melewati perumahanya. Kemudian aku melihat warung mbok giyem tutup, jaring laba- laba menyelimuti, atap gendengbyang bocor. Sempat aku bertanya kemanakah aku, apa aku salah jalan?
Selanjutnya aku terus berjalan menuju arah pulang ke rumah. Sebenarnya aku ingin berbalik arah mengunjungi rumah teman- temanku. Tetapi yang ada di jalan area pulang hanya ada rumah temanku Ali. Ketika aku sampai di depan gang rumah ali, aku berniat ingin membasuh muka saja di rumahnya. Aku masuk kedalam gang itu, tetapi tidak pernah ku lihat rumah Ali yang penuh kayu itu. Yang ada hanyalah rumah aneh dengan latar yang luas. Rumah itu berwarna merah, dan aku memanggil Ali. Ternyata Ali tidak ada dirumah sejak lama, dan kata orang dewasa yang menghampiriku, nama ali tidak tahu kalau pernah di rumah ini.. Aneh padahal tadi di lapangan bersama, dan ali pulang memakai sepedanya, dan aku hanya berjalan kaki. Pasti ia sampai duluan, tetapi malah ia tidak ada.
Akhirnya aku memutuskan pulang ke rumah, setelah sampai rumah, ternyata ibu juga tidak ada di rumah. Dan rumahku masih seperti biasa, aku sedikit pusing dan lelah bermain, ada yang aneh, kenapa yang diluar serasa berubah. Tetapi aku tetap seperti biasanya?, Akhirnya aku mandi, dan minum air hangat yang ku buat sendiri, dengan bara api kayu yang ada. Aku meminunya dengan perlahan- lahan.
*Nada Telpon memanggil sambil bergetar*
Ternyata aku sudah dewasa, aku di depan teras rumah menatap langit, dan kuhisap rokok Suryaku. "Semua telah berubah, aku mengangkat telfonku, ternyata hanya suara admin bank yang mengingatkanku akan pinjamanku yang belum kubayar". Hari- hari terasa berat, hutang yang menumpuk, sementara aku hanya seorang pengangguran yang menantikan burung- burung datang. Wajah kerut ayahku dari sawah yang semakin nyata, dan punggung ibuku yang tidak bisa berdiri tegak. Aku hanya berdiam disini dengan perasaan tega. Keempat temanku, entah kemana, aku tidak pernah melihatnya sekarang, hari- hari aku lebih menghayati itu semua sebagi kenangan terindah yang tak terulang kembali. Karena "Semua telah berubah, dan aku masih sama seperti anak kecil yang lalu."
Jam menunjukan dua belas malam, aku masih bengong dan mengkhayal sesuatu yang sudah berlalu. Mungkinkah kesepian adalah takdir manusia, yang tak bisa dihindarkan?
Kemanakah mereka, apakah sudah berbeda, tetapi aku rasa, aku masih sama. Atau mereka yang berubah?, Entahlah aku ingin menjalani kehidupan ini seperti anak kecil dan menuntaskanbtanggung jawab seperti orang dewasa. Hutang harus lunas, kuliah harus selesai. Aku faisal yang sederhana tapi tidak ingin disederhanakan oleh perkatan mereka. Teman- teman kita tetap menjadi teman kan??
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H