Mohon tunggu...
Krisna Wahyu Yanuariski
Krisna Wahyu Yanuariski Mohon Tunggu... Jurnalis - Pendongeng

Enthos Antropoi Daimon (Karakter seseorang ialah takdirnya)- Herakleitos Seorang cerpenis di kompasiana, ia juga penulis buku "Fly Away With My Faith", juga seorang Mahasiswa UIN SATU Tulungagung, ia juga jurnalis dan kolumnis di beberapa media. Instagram @krisnawahyuyanuar W.a 081913845095

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ruang Sunyi, Bisu Kelana

20 Januari 2023   23:01 Diperbarui: 20 Januari 2023   23:25 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

       Didalam ruang kesunyian selalu ramai dengan kosa kata- kosa kata yang sebenarnya tiada yang berguna, mereka datang layaknya tamu tanpa undangan, seperti kunang- kunang yang hinggap di sebuah rumah yang gelap gulita, konon katanya pemadaman listrik !.

     Tetapi ini bukan soal pemadaman listrik tetapi robohnya tiang- tiang penyangga rumah, oleh hawa nafsu dan angkara. Mengapa kita tidak menghiasi rumah kita sendiri sebelum menghiasi rumah orang lain?

       Terkadang kita terlalu terlena, akan sebuah ritual dan mengabaikan spiritual. Tuhan telah mati, Tuhan telah mati, kata nietsche dan marx. Yang mati sebenarnya kesadaran kita sebagai homo religius, Soren Kierkegaard berulangkali berdakwah tentang hirearki kesadaran manusia. Pernah kah sesekali kita merenung untuk dunia itu?

      Jangan lupa kita punya rumah untuk tempat kita kembali, barang kali dalam perjalanan kita, memang menjadi musafir. Dan kita juga perlu beristirahat dari segala keduniawian yang sebenarnya mati itu mau apa?, Apakah ada susunan acaranya? Atau bagaimana konsepnya?.

      Sungguh misteri, semuanya juga misteri seperti hati wanita kah?, Tetapi ini bukan soal hati, perjalanan kita memang selalu berjalan dinamis, tiada aliran yang statis mulus seperti medan perosotan yang selalu menukik kebawah, ada kalanya kita naik.

       Tetapi hidup ini penuh dengan segala tanda tanya, bahkan tanya itu untuk apa dan siapa, kita tak tahu apa- apa. Dan Pada ahkirnya dengan keinginan kuat, sepeda akan dapat berjalan dan rodanya berputar sesuai dengan tanjakan. 

        Sebab itu aku ingin bercerita, setelah kita mendapatkan apa yang kita inginkan terus, mau kemana? Menciptakan keinginan itu lagi?. Atau memang keinginan manusia itu Abadi?, Hanya jasad lah yang kemudian memisahkanya.

      Tunjukanlah kami jalan yang lurus, kerap kali kita temui dalam bimbingan firman Tuhan. Jalan yang mana?, Ketika jalan tersebut tidak sesuai atau salah rytme nya?, Kita makhluk kontradiktif, seperti yin dan yang, yang hitam pasti ada titik putih, yang putih pasti ada titik hitam. Tiada satu kedimensionalan absolut, multidinensi.

       "Mengalir Jauh Menghidupi Sesama" seperti jargon yang dikatakan prof musya asyari. Kita akan bisu jika dihadapkan keinginan yang selesai disambung selanjutnya. Kata diatas mungkin yang tepat tetapi "ananging ora keli" tidak tergerumus arus yang dahsyat. Harus mampu berdiri diatas tubuh, prinsip,kebaikan, perjuangan, sendiri.  

        Ruang kesunyian sebuah tempat dimana kita mencari jejak langkah kita yang tersembunyi, dimana beberapa ada yang hilang terlebur desir ombak problematika. Dan kita harus kembali berjalan dengan konsistensi.

      Menurutku konsistensi hampir sama dengan istiqomah, yang membedakan ada hal- hal spirituil yang seharusnya diaduk disitu layaknya secangkir kopi. Kesunyian mengajari kita bahwa dari lahir sampai mati kita yang akan berdiri sendiri. Tetapi jangan lupa kita disini adalah anggota kehidupan, sudah selayaknya sebagai anggota berpartisipasi membuat kemanfaatan untuk urusan hidup.

       Aku tidak mau hal- hal yang rumit sudah seharusnya hidup seperti puisi, yang harus mencari maknanya sendiri. Bukan seperti birokrat yang mencari untung pribadi, katanya korupsi yang adil dan merata. Boleh beda argumentasi tetapi sama rata cuanisasi.

         Dalam kebisuan, mulut kita terdiam merenungkan segala sesuatu yang seharusnya tidak penting, aku membenci ritual ibadah karena terkadang kita lupa untuk apa ibadah?. Padahal senandung firmanya berulang kali kita baca, tetapi kita kerap kali lupa. Ku kira maksiat terbesar adalah "lupa" tapi kita kan manusia? Terus bagaimana? Begitulah hidup dalam ujian probabilitas(untung atau merugi), sebuah tanda tanya yang besar.

     Ingatlah, Tuhan menciptakan malam untuk kita berdoa dan berharap dengan tenang, bukan mengundang burung- burung yang berisik dalam kepala. Bila itu datang it's okay, berilah ia makan dengan beberapa kata- kata yang menenangkan hati dan jiwa. Bacalah, Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Maha Mulia.

      Beberapa nama Tuhan yang beragam bukan sebuah jimat. Tetapi ada peran yang terselubung, jika kita menyebutnya. Ingat sekali lagi, mereka yang sengaja hadir dalam ruang kesunyian, seharusnya mengajak makan malam(dzikir) dalam ketenangan dengan Kekasih. Amiiin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun