Mohon tunggu...
krisnajtpasaribu
krisnajtpasaribu Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi

infp

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Dunia di Ujung Jari: Teknologi menjadi Pedang Bermata Dua

23 Desember 2024   22:11 Diperbarui: 28 Desember 2024   19:02 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pernahkah Anda merasa tidak bisa lepas dari ponsel, bahkan saat sedang makan atau berkumpul dengan keluarga? Anda tidak sendirian. Kemajuan teknologi yang pesat telah mengubah lanskap kehidupan manusia secara drastis. Kemudahan akses informasi dan interaksi jarak jauh yang ditawarkan teknologi telah mempersempit jarak antar individu dan budaya. Di era di mana informasi mengalir deras seperti air bah, kita seringkali lupa bahwa teknologi yang seharusnya menjadi alat bantu, justru bisa menjadi belenggu yang membatasi kebebasan kita. Nyatanya, dalam State of Mobile 2024 yang dirilis oleh Data.AI warga Indonesia menjadi pengguna yang paling lama menghabiskan waktu dengan perangkat mobile seperti HP dan tablet pada 2023 yaitu 6,05 jam setiap hari dan menjadi satu-satunya masyarakat yang menatap layar gagdet lebih dari 6 jam setiap hari. Berdasarkan survey Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI, 2020) terdapat sekitar 71,3% anak usia sekolah memiliki gadget dan atau memainkan gadget mereka dalam kurun waktu yang cukup lama dalam sehari, dan sebanyak 55% diantaranya menghabiskan waktu bermain ponsel tersebut dengan game online maupun offline. Ketua Lembaga Perlindungan Anak turut menyatakan bahwa sejak 2013 telah menangani 17 kasus anak yang kecanduan gadget, begitu juga Komisi Nasional Perlindungan Anak yang sejak 2016 sudah menangani 42 kasus anak yang mengalami kecanduan gadget. 

Kecanduan Gadget dan Dampaknya 

Kecanduan gadget, seperti halnya kecanduan pada umumnya, melibatkan interaksi kompleks antara faktor psikologis, sosial, dan biologis. Ketika kita menggunakan gadget, terutama media sosial atau game, otak kita melepaskan dopamin, sebuah neurotransmitter yang terkait dengan rasa senang dan penghargaan. Setiap kali kita mendapatkan notifikasi, like, atau mencapai level baru dalam game, otak kita melepaskan dopamin. Rasa senang yang timbul ini membuat kita ingin mengulangi tindakan tersebut untuk mendapatkan kembali perasaan yang sama. Seiring waktu, otak kita menjadi terbiasa dengan jumlah dopamin yang sama dan membutuhkan rangsangan yang lebih besar untuk merasakan kepuasan yang sama. Lingkungan yang mendukung penggunaan gadget, seperti keberadaan smartphone di mana-mana dan tekanan sosial untuk selalu terhubung, juga berperan dalam memperkuat kecanduan. Dopamin berperan sangat penting dalam pembentukan kebiasaan. Ketika kita melakukan suatu tindakan yang menghasilkan pelepasan dopamin, otak kita menciptakan jalur saraf yang menghubungkan tindakan tersebut dengan perasaan senang. Semakin sering kita mengulangi tindakan itu, semakin kuat jalur saraf tersebut. Semakin sering kita menggunakan gadget, semakin tinggi ekspektasi kita terhadap dorongan dopamin. Ketika ekspektasi tidak terpenuhi, kita cenderung menggunakan gadget lebih lama atau lebih sering untuk mendapatkan dosis dopamin yang diinginkan.  Kondisi tersebut dapat mendorong kecenderungan penggunaan smartphone secara berlebihan hingga berdampak menjadi nomophobia (No Mobile Phone Phobia). Nomophobia adalah kondisi ketika seseorang merasa cemas dan takut berlebih ketika jauh dari ponselnya (Yildirim & Correia, 2015). Nomophobia juga bisa muncul karena adanya keinginan untuk selalu memeriksa perkembangan tren di dunia maya atau mengalami kekhawatiran ketika melewatkan sesuatu yang baru. Kondisi ini disebut FOMO (Fear of Missing Out). Kecanduan gadget dapat terjadi pada semua gender dan umur dan apabila dibiarkan dapat memicu kelelahan, stres, dan depresi.

Cyberbullying

Tidak bisa dipungkiri bahwa media sosial menjadi salah satu platform bagi seseorang untuk mengekspresikan diri.  Hal ini memicu reaksi yang berbeda dari setiap pengguna. Ketika pendapat atau pandangan yang diungkapkan tidak sejalan, seseorang berisiko menjadi sasaran cyberbullying. Cyberbullying adalah tindakan bullying atau  perundungan  yang  menggunakan  teknologi  untuk  menyakiti  orang  lain dengan sengaja dan berulang-ulang (Prabawati, 2013). Perundungan online ini bisa berupa menyebarkan berita bohong, mengirim pesan atau komentar yang kasar, dan mengunggah foto atau video yang bersifat seksual. Orang merasa aman melakukan cyberbullying karena mereka dapat menyembunyikan identitas (Anang Sugeng Cahyono, n.d.) dan merasa tidak bertanggung jawab atas konsekuensinya. Dalam situasi seperti ini, serangan verbal atau kritik yang berlebihan dapat menimbulkan dampak negatif, baik secara emosional maupun psikologis bagi korban. Cyberbullying dapat meninggalkan bekas luka yang dalam pada kesehatan mental korban. Cyberbullying memicu respons stres kronis yang terus-menerus mengaktifkan sistem saraf simpatik. Hal ini dapat menyebabkan pelepasan hormon stres seperti kortisol dalam jumlah berlebihan, yang pada jangka panjang dapat merusak sel-sel otak dan mengganggu fungsi kognitif. Cyberbullying dapat memicu depresi, sebuah gangguan mood yang ditandai dengan perasaan sedih yang berkepanjangan, kehilangan minat, dan perubahan pola makan dan tidur. Depresi dikaitkan dengan perubahan aktivitas di beberapa area otak, termasuk amigdala (pusat emosi) dan prefrontal cortex (pusat pengambilan keputusan). 

Untuk mencegah dan menangani cyberbullying, kita perlu mengedukasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak negatif cyberbullying, membangun kerja sama antara sekolah, orang tua, dan pihak berwenang untuk menciptakan lingkungan yang aman secara online dan terapi psikologis bagi korban cyberbullying untuk mengatasi trauma dan membangun kembali kepercayaan diri.

Information Overload

Information overload atau kelebihan informasi adalah kondisi di mana seseorang dihadapkan pada terlalu banyak informasi dalam waktu yang singkat sehingga sulit untuk memproses dan memahami semua informasi tersebut. Ini seperti mencoba meminum air dari selang yang terbuka lebar: semakin banyak air yang keluar, semakin sulit untuk menelannya. Contoh sederhana dengan adanya notifikasi yang terus-menerus, berita yang terus berubah, dan tekanan untuk selalu terhubung dapat menyebabkan informasi overload.  Ketika otak kita dibanjiri oleh informasi, sulit untuk fokus pada satu hal saja. Kita akan kewalahan dalam mengambil keputusan sehingga dapat memicu stres dan mengurangi produktivitas.

Untuk mengatasi dampak dari information overoad, beberapa hal yang dapat dilakukan adalah membatasi konsumsi nformasi dengan menetapkan waktu khusus untuk mengecek media sosial dan berita, memilih sumber informasi yang terpercaya dan sesuai dengan minat, memprioritaskan tugas dan berlatih mindfulness untuk mengurangi kecemasan.

Teknologi adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, teknologi mempermudah hidup kita, tetapi di sisi lain, teknologi juga bisa menjadi sumber stres dan masalah kesehatan mental. Dengan memahami dampak teknologi pada kesehatan mental dan menerapkan strategi yang tepat, kita dapat memanfaatkan teknologi secara bijak dan hidup lebih bahagia.  

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun