Jaya tidak bisa berhenti menangis sesenggukan ketika si jago merah melalap tubuh kaku Ayu, kakak kandungnya. Dengan cuaca sedikit gerimis, iringan klentangan khas Bali dan suasana hiruk pikuk kerabat yang hilir mudik mempersiapkan upacara pengabenan terakhir untuk Ayu tidak mengindahkan Jaya untuk tetap berada di dekat pemuunan tempat sang kakak terbaring dan terlalap jago merah. Air matanya mengalahkan gerimis yang membasahi wajahnya. Tak ada sedikitpun niat untuk menenangkan orang tuanya yang juga menangis tersedu sampai berujung ketidaksadaran Sari, Ibu Ayu dan Jaya.
Lahir sebagai anak bungsu dari 3 bersaudara membuat Jaya sangatlah manja. Namun keadaan orang tuanya yang paruh baya dan lebih sering menghabiskan waktu dengan gadget dan kesenangan mereka masing-masing membuat Jaya jauh dari yang namanya perhatian orang tua. Jaya sedari kecil diasuh oleh kakak kandung yang terpaut 5 tahun jaraknya bernama Ayu, atau sering Jaya panggil sebagai Mbok Ayu.
Mata masih berkaca-kaca namun pantulan bara api masih menyala seolah tak surut mengeringkan air mata itu. Teringat kembali saat Jaya tidak mendapatkan mainan yang diinginkan lalu dengan membabi buta memukul dan menjambak Ayu, namun Ayu diam saja karena takut dimarahi oleh orang tuanya. Saat itu Jaya masih TK dan Ayu sudah kelas 5 SD. Perlakuan yang sama terus Jaya lakukan kepada Ayu sampai Ayu kehilangan batas kesabaran dan membalas Jaya dengan tamparan di pipinya sambil menangis.Â
Ranu, kakak sulungnya yang sedang libur bekerja dengan tampang malasnya ketika mendengar anak kecil menangis melempar sandal ke arah Ayu seraya meneriaki ayu sebuah kalimat yang menyakitkan., "Dasar lemah. Kamu lemah dan tidak pantas menjadi kakak!". Ayu yang masih sesenggukan kembali dijitak oleh ayahnya, "Kamu harus ngalah dengan adik!" bentak Ayahnya. Sedangkan Ibunya dalam kamar asyik bergunjing dengan temannya via telepon. Ayu tidak mendapat dukungan apapun. Dia hanya menangis bergetar sambil berkata "Maaf."
"Mbok Ayu, maafkan saya." Lirih Jaya memandangi sebagian besar tubuh kakaknya menjadi debu namun api masih menyala. "Mbok Ayu, jika saya bisa mengulang kembali, saya ingin membahagiakan Mbok yang sangat luar biasa mengasuh saya sampai seperti ini. Maaf Mbok, maafkan saya." Jaya tidak bisa lagi menahan tubuh tegaknya yang sedari tadi berdiri tegak. Dia membungkuk kemudian berjongkok menangis sekeras-kerasnya.
        Sekali lagi, tidak ada yang peduli. Orang tuanya terlalu larut dalam kesedihan dan penyesalannya. Kerabat sibuk dengan detail upacara nganyud yang akan dilakukan setelah keseluruhan jasad Ayu menjadi abu.    Â
**** Â Â Â Â
        "Jaya, sini makan dulu." Perintah Ayu lembut sambil menyodorkan tangan berisi sesuap nasi. Pakaian mereka sudah merah putih. Jaya kelas 1 sedangkan Ayu kelas 6 SD.
        "Tidak mau. Jaya bosan dengan menu telur ceplok saja." Pungkasnya
        "Ibu tidak masak, jadi Mbok buatin ini saja. Ini aja yang Mbok bisa. Jaya mau ya makan. Tadi ada PR kan? Kita buat sama-sama ya." Bujuk Ayu yang diikuti oleh suapan demi suapan Jaya.