Mohon tunggu...
Krisna Bee
Krisna Bee Mohon Tunggu... Seniman - Musisi

Menulis, Menyanyi dan Mengajar adalah curhatan termurah dan sehat

Selanjutnya

Tutup

Financial

Cara Hadapi Pinjaman Online Ilegal Yang Sangat Meresahkan

15 Mei 2019   05:44 Diperbarui: 21 Agustus 2019   14:19 7397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fintech ilegal yang meresahkan masyarakat terus bermunculan. Satuan Tugas Penanganan Dugaan Tindakan Melawan Hukum di Bidang Penghimpunan Dana Masyarakat dan Pengelolaan Investasi atau Satgas Waspada Investasi, Tongam L. Tobing mengatakan bahwa Fintech ilegal dilihat dari servernya banyak yang datang dari China, Amerika Serikat, Singapura, Malaysia dan Indonesia sendiri.

Tongam menyatakan terdapat beberapa faktor yang menyebabkan masih banyak fintech ilegal di Indonesia.

1. Sangat mudah membuat aplikasi website dengan kemajuan teknologi informasi saat ini.

2. Pangsa pasar yang masih besar untuk pinjaman online di Indonesia.

3. Tingkat pengetahuan masyarakat mengenai fintechmasih perlu ditingkatkan.

4. Memberikan kemudahan dalam pinjaman uang, walaupun pada dasarnya mereka mengenakan bunga, fee dan denda yang tinggi.

OJK merespon perkembangan fintech ini dengan baik melalui POJK 77 tahun 2016, sehingga ada dasar hukum untuk fintech lending beroperasi di Indonesia," jelas Tongam. Kendati demikian, Tongam mengaku pihaknya terus menjalankan strategi memperkuat tindakan preventif dan represif. Tindakan preventif terutama edukasi ke masyarakat agar selalu berhubungan dengan fintech yang terdaftar di OJK. "Selain itu, kami juga secara rutin menyampaikan informasi ke masyarakat daftar fintech ilegal dan daftar fintech legal.  Tindakan represif kepada fintech ilegal berupa pengumuman daftar fintech ilegal, blokir web dan aplikasi melalui Kemkominfo," papar Tongam. Selanjutnya Satgas juga melaporkan informasi fintech ilegal kepada Bareskrim. Juga meminta perbankan dan fintech payment system untuk tidak memfasilitasi fintech lending ilegal.

Asal tahu saja, hingga per 8 April 2019 hanya terdapat 106 entitas fintech peer to peer lending yang terdaftar dan diawasi oleh OJK. Semua Fintech yang terdaftar dan atau berizin di OJK wajib memenuhi seluruh ketentuan POJK 77, termasuk kewajiban dan larangannya. Jika diantara Fintech ini terbukti ada yang melakukan pelanggaran, OJK berhak memberi sanksi, di  bisa berupa surat peringatan, denda, pembatasan kegiatan usaha dan atau pencabutan izin usaha. Berikut adalah daftar Fintech yang terdaftar di OJK: Fintech yang terdaftar di OJK

Sedangkan Fintech yang diduga kejahatan finansial online (tidak terdaftar di OJK) juga diterbitkan oleh Satgas Waspada Investigasi per 13 Maret 2019: Fintech yang diduga kejahatan finansial online

Otoritas keuangan itu pun rutin memperbaharui nama-nama fintech legal yang terdaftar di situsnya. Apabila masyarakat menemukan ada fintech ilegal yang menawarkan layanannya, yang bersangkutan bisa melapor ke Kementerian Kominfo melalui surat elektronik (email): aduankonten@mail.kominfo.go.id. Nah, aduan tersebut nantinya akan diakomodasi oleh Kominfo bekerja sama dengan Satgas Waspada Investasi OJK, Google dan Apple untuk memblokir situs dan aplikasi tersebut. Di samping itu, apabila ditemukan ada unsur pidana, maka pengelola fintech ilegal akan dibawa ke ranah hukum.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Sunu Widyatmoko sepakat, masyarakat hanya boleh menggunakan layanan fintech lending terdaftar di OJK. Selain itu, masyarakat harus memperhatikan segala administratif termasuk persyaratan, bunga, dan denda setiap fintech lending. Informasi tersebut bisa diperoleh masyarakat di situs masing-masing perusahaan. Setelahnya, masyarakat harus mengukur kemampuan diri sendiri. "Kalau dari bunga itu merasa tidak mampu membayar, ya jangan pinjam," kata Sunu.

Disisi lain Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) membuat platform khusus aduan masyarakat. Laman yang dijadikan platform aduan nasabah yang merasa dirugikan oleh pinjaman online bisa diakses melalui AFPI.or.iod. Melalui laman tersebut, pengadu bisa langsung melaporkan berbagai tindakan pinjaman online nakal disertai dengan dokumen dan bukti-bukti pengaduannya. Atau bisa juga bisa menghubungi call center 02150821960 di jam kerja, juga e-mail: pengaduan@afpi.or.id.

Namun, Sunu menegaskan, pinjaman online yang bisa ditindak oleh AFPI serta komite etik AFPI hanyalah pinjaman online yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atau pinjaman online yang legal. Namun, untuk aduan terkait pinjaman online ilegal akan tetap diterima namun akan diteruskan kepada Satgas Waspada Investasi atau Tim Cyber Crime Bareskrim Polri.

Dan apabila masyarakat terlanjur menjadi korban dari pinjaman online ilegal, ia menyarankan agar peminjam melunasi kewajibannya terlebih dulu. "Legal atau ilegal, tetap harus dilunasi daripada bermasalah, dan setelahnya atau secara bersamaan, korban bisa melaporkan fintech ilegal tersebut ke OJK dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

images-5cdb542195760e1d1657c708.jpeg
images-5cdb542195760e1d1657c708.jpeg
Memang, fintech ilegal tidak berada di bawah pengawasan OJK. Akan tetapi, menurut Sunu tak ada salahnya melapor juga ke OJK supaya bisa ditindaklanjuti dan tidak ada korban berikutnya. Masyarakat bisa datang langsung ke kantor OJK di Gedung Soemitro Djojohadikusumo Jalan Lapangan Banteng Timur 2-4 Jakarta 10710. Bisa juga melalui email: waspadainvestasi@ojk.go.id ataupun telepon ke 0211500 655. Selain itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta tengah membuka pos pengaduan pinjaman online di lewat situs www.bantuanhukum.or.id.

Ketua Satgas Waspada Investasi, Tongam L Tobing mengatakan bahwa hingga kini jumlah Fintech Peer-To-Peer Lending tidak berizin yang ditemukan Satgas Waspada Investasi sebanyak 543 entitas. Sehingga, saat ini jumlah fintech tak berizin yang diketahui OJK sebanyak 947 entitas, per 24 April 2019. Satgas Waspada Investasi menghentikan 73 kegiatan usaha yang diduga melakukan kegiatan usaha tanpa izin dari pihak berwenang dan berpotensi merugikan masyarakat, terdiri atas 64 entitas di bidang Trading Forex, lima entitas bidang investasi uang, dua entitas Multi Level Marketing (MLM) dan masing-masing satu entitas di bidang investasi perkebunan dan cryptocurrency.

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Wimboh Santoso mengatakan, OJK tidak bisa berbuat apapun bila masyarakat merasa dirugikan oleh perusahaan financial technology (fintech) peer to peer (P2P) lending ilegal atau tidak terdaftar di OJK. Pasalnya, OJK tidak pernah membuat komitmen apapun dengan fintech ilegal tersebut.

Wimboh meminta kepada masyarakat untuk melakukan pinjaman hanya kepada fintech P2P yang sudah mengantongi izin OJK. OJK tidak bisa memonitor fintech-fintech di luar itu. Masyarakat yang merasa dirugikan, lanjut Wimboh, harus lapor ke polisi lantaran kasus ini serupa dengan masalah utang piutang konvensional.

Sementara itu Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L Tobing mengakui, tidak mudah membasmi fintech ilegal luar negeri sebab fintech tersebut bekerja secara virtual dan berganti-ganti nama dengan mudah. "Selain itu, kita blokir satu, dia bikin lagi, malah ada duplikasi seakan dia legal hanya dengan spasi. Ini menjebak masyarakat. Kita makanya bikin tips menghindari fintech ilegal ini. Karena ini fintech ilegal delik aduan, saat ini masih ditingkat penyidikan." 

Sementara itu, Semuel Abrijani Pangerapan, Dirjen Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Infrormatika (Kemenkominfo) mengatakan masyarakat tidak perlu takut, Layanan pinjaman berbasis online atau fintech lending yang melakukan penyalahgunaan data dapat terancam sanksi denda dan pindana. Salah satu bentuk penyalahgunaan data, menurut Semuel adalah pengambilan kontak tanpa sepengetahuan nasabah. Untuk itu, diperlukan verifikasi layaknya layanan pinjaman offline.

tirto
tirto
Secara umum, Undang-Undang Internet dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Pasal 32 meyebutkan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan transmisi dan memindahkan informasi elektronik milik orang lain akan dipidana dengan penjara paling lama delapan tahun dan/atau denda paling banyak Rp2 miliar.

Disisi lain dalam menindak aplikasi layanan peminjaman online yang berjalan tidak sesuai dengan aturan, Kominfo telah bekerjasama dengan toko aplikasi. "Kalau memang ilegal mereka akan kita kirimi surat untuk tidak boleh diunduh lewat Apple App Store ataupun Google Play Store," ujar Semuel. Lebih dari itu, Semuel mengatakan bahwa aplikasi yang menyalahi aturan dapat ditindak secara hukum. "Terkait penyalahgunaannya, kalau penyalahgunaan data Kominfo, kalau beroperasi tanpa izin di OJK," kata dia.

Semuel mengungkapkan bahwa Kominfo telah memiliki satuan tugas investasi bodong, juga mengenai fintech. Bahkan dia pernah menyampaikan secara ekstrim, bahwa jika nasabah fintech ilegal merasa dirugikan oleh tindakan dari aplikasi tersebut, setelah pinjam tak perlu membayar. "Ya (tak perlu bayar), mereka ilegal. Kenapa harus takut. Kan Mereka ilegal," ujar Semuel. Semuel menambahkan fintech ilegal tidak akan difasilitasi negara jadi mereka tidak bisa menuntut peminjam yang tidak membayar tagihannya. "Kalau mereka melaporkan ini, ya bagus, saya jadi bisa tutup nanti karena mereka kan ilegal," ujarnya.

Semuel menjelaskan untuk beroperasi di Indonesia, fintech lending harus mendaftarkan diri dan tunduk pada aturan yang ada di Indonesia. "Kalau mereka mau beroperasi di Indonesia ya daftar dong. Jangan merugikan masyarakat Indonesia begini," tambahnya.

Mengenai berita kriminal menyangkut keberadaan Fintech Ilegal ini terjadi pada akhir tahun yang lalu, dimana Kepolisian Indonesia melalui Direktorat Tindak Pidana Siber Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) telah menangkap dan sekaligus menetapkan empat karyawan perusahaan fintech Peer to Peer (P2P) Lending ilegal bernama Vloan, sebagai tersangka. Para penagih utang P2P (pinjamanonline) ini menggunakan cara ancaman asusila, ancaman kekerasan, dan teror melalui media elektronik ketika hendak menagih uang pinjaman kepada nasabahnya.

Semula para nasabah diberi tahu untuk membayar utang, tapi lama-lama mulai disebarkan foto dan video porno, hingga ancaman-ancaman untuk menyakiti para nasabah. Kasubdirt II Tindak Pidana Siber Bareskrim Ploti Kombes Rickynaldo Chairul mengatakan, "Awalnya dikasih tahu untuk bayar utang. Lama-lama mulai disebarkan konten pornografi, pengancaman, hingga ditakut-takuti." Adapun identitas keempat penagih tersebut adalah Indra Sucipto (31), Panji Joliandri alias Kevin Januar (26), Roni Sanjaya alias X_X (27), dan Wahyu Wijaya alias Ismed Chaniago (22).

Penangkapan tersebut terjadi dalam kurun waktu 29 November 2018 - 10 Desember 2018 di wilayah Jakarta dan Depok serta Jawa Barat. Dari penangkapan ini, Polri menyita barang bukti, terdiri dari tiga laptop, empat telepon genggam, lima kartu SIM operator, empat Kartu tanda Penduduk (KTP), dan dua kartu Anjungan Tunai Mandiri (ATM).

kumparan
kumparan
Vloan adalah P2P Lending ilegal alias tidak terdaftar dan tidak memiliki izin dari Otoritas Jasa Keuanga (OJK). Vloan juga memiliki beberapa aplikasi fintech yang ada di marketplace dengan nama Supercash, Rupiah Cash, Super Dana, Pinjaman Plus, Super Dompet, dan Super Pinjaman. Meskipun beroperasi di Indonesia, server aplikasi ini berada di daerah Zhejiang, China dengan hosting server di Arizona dan New York, Amerika Serikat. Pihak Kepolisian mengatakan telah mendalami pemeriksaan ke pihak-pihak lain dalam perusahaan ini. Direktur perusahaan asal Indonesia bernama Je Wei alias Clif dan tinggal di China.

Di kasus yang berbeda, pada bulan Februari 2019, dikabarkan Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri melakukan penangkapan terkait kasus fintech. Polri meringkus debt collector yang diduga menagih utang dengan cara yang melanggar. Para tersangka diduga melakukan penagihan dengan cara membuat "grup khusus" di aplikasi pesan singkat kemudian memasukkan kontak korban beserta keluarga, kerabat, dan teman-temannya yang sudah diambil sebelumnya dari ponsel peminjam, lalu dengan mudahnya mengirimkan pesan berisi pelecehan seksual. Hal ini dilakukan untuk membuat korban tertekan dan segera membayar pinjaman berikut bunga yang tinggi dan denda yang mencekik.

Penangkapan itu sekaligus mengafirmasi pola yang ditemukan LBH Jakarta pada pos pengaduan. Para debt collector penyelenggara aplikasi fintech dalam menagih utang memang melakukan pengancaman, fitnah, penipuan, pelecehan seksual, penyebaran data pribadi, pembuatan "grup khusus" di aplikasi pesan singkat, dan penagihan yang tidak hanya dilakukan pada peminjam atau kontak darurat yang disertakan oleh peminjam.

🔜Artikel Yang Relevan:

- Waspadai Pemalakan Sadis Pinjaman Online Ilegal

- Kisah dan Solusi Untuk Keluar Dari Jeratan Pinjaman Online

KUNJUNGI VIDEO BERITA TERBAIK di Channel Krisna Bee

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun