Kondisi ekonomi dunia saat ini semakin mengkhawatirkan, di mana banyak negara-negara dunia yang mengalami lonjakan inflasi akibat adanya gangguan pasokan.Â
Prediksi resesi dunia di tahun depanpun terus berlanjut oleh berbagai lembaga internasional, termasuk Bank Dunia dan IMF. Prediksi tersebut juga diyakini oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Indonesia, Sri Mulyani.Â
Resesi ini dipicu oleh laju inflasi yang tinggi di banyak negara, termasuk Amerika Serikat (AS), Eropa, dan Inggris. Inflasi Amerika Serikat (AS) pada Agustus 2022 berada di posisi 8,3% year on year (yoy).Â
Lonjakan inflasi ini direspon oleh bank sentral AS, The Fed, dengan menaikkan suku bunga acuannya sebesar 75 basis poin (bps) menajadi 3-3,25% pada periode September 2022.Â
Selama tahun 2022, The Fed telah menaikkan suku bunga acuannya sebesar 300%. Selain itu, di Inggris inflasi sudah mencapai 9,9% yoy pada Agustus 2022 dan direspon  oleh bank sentral Inggris dengan menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps menjadi 1,75%.Â
Respon kenaikan suku bunga bank sentral di berbagai negara ini yang menjadi pemicu munculnya prediksi resesi global di tahun 2023 mendatang.
Adanya resesi global tersebut tentu akan berdampak kepada perekonomian Indonesia. Ekonom Indef, Abra El Talattov, menilai bahwa implikasi resesi global akan membebani ekonomi Indonesia pada tahun 2023, terutama dari sisi perdagangan internasional.Â
Resesi global dapat memicu penurunan harga komoditas energi, terutama mineral serta batu bara dan CPO karena penurunan permintaan global akibat resesi.Â
Hal ini akan menekan ekspor dan neraca dagang Indonesia. Pasalnya, dalam setahun terakhir Indonesia tengah menikmati windfall dari harga komoditas tersebut.
Dampak dari kondisi tersebut juga perlu diwaspadai pada kalangan petani khususnya petani sawit yang saat ini masih merasakan harga jual yang rendah di tingkat petani. Â