Pemerintah China telah mengeluarkan peringatan kekeringan pada Jumat (19/08/2022) terkait gelombang panas yang berkepanjangan dan parah di Barat Daya China, dengan penduduk yang padat dan diperkirakan akan berlajut hingga September 2022.Â
Perubahan iklim yang terjadi di China telah membuat negara tersebut mengalami kekeringan yang parah. Pada Minggu (21/08/2022), pemerintah provinsi telah merevisi kondisi tersebut dari tingkat peringatan tinggi menjadi "sangat parah".Â
Pasalnya, suhu di China sudah mencapai lebih dari 40 derajat Celcius dan bahkan sudah mencapai 45 derajat Celcius. Kekeringan ini telah mempengaruhi 2,46 juta orang, 2,2 juta Hektare lahan pertanian, dan lebih dari 780.000 orang membutuhkan dukungan pemerintah akibat kekeringan tersebut.
Kondisi kekeringan di China tersebut telah berdampak ke produksi pertanian hingga ke aktivitas industrinya yang terganggu. Hal ini tentu perlu diwaspadai oleh Indonesia, mengingat China merupakan mitra dagang utama Indonesia. Berikut merupakan hal yang harus diwaspadai dari kekeringan di China:
Pangan, kekeringan tersebut membuat pertanian di negara tirai bambu terganggu. Pemerintah China telah memperingatkan bahwa tanah yang terlalu kering mempengaruhi 88.000 Hektare gandum musim gugur.Â
Pasalnya, China merupakan negara penghasil gandum terbesar di dunia, dengan produksi lebih dari 2,4 miliar ton gandum dalam 20 tahun terakhir atau sebesar 17% dari total produksi.Â
Selain itu, China juga merupakan konsumen gandum terbesar di dunia, di mana pada tahun 2020/2021 konsumsi gandum China mencapai 19% dari total konsumsi global.Â
Dengan demikian, kondisi tersebut akan memicu terjadinya peningkatan permintaan serta penurunan supply dari China, sehingga harga gandum global berpotensi naik. Tidak menutup kemungkinan harga produk turunan gandum seperti mie instan dan tepung terigu juga ikut naik.
Selain gandum, kedelai dan beras yang mendekati musim panen juga mendapatkan peringatan dari kekeringan tersebut, pasalnya kedua komoditas tersebut merupakan tanaman intensif air.Â
Selain itu, China juga merupakan negara produsen kedelai ke empat terbanyak di dunia (2021/2022), dengan produksi sebesar 18,1 juta metrik ton atau 4,7% total produksi dunia. Hal ini seiring dengan konsumsi kedelai China yang tinggi.Â
Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), pada April 2022 impor sayur Indonesia mengalami peningkatan hingga 111,78% dari bulan sebelumnya dengan negara terbanyak yaitu China.
Sehingga, kondisi tersebut berpotensi pada kenaikan harga kedelai dan sayuran impor China. Lebih lanjut akan meningkatkan harga pakan ternak akibat dari peningkatan biaya bahan baku kedelai dan gandum. Biaya pakan ternak yang tinggi berpotensi meningkatkan harga daging ayam dan telur ayam.
Pembangkit listrik Tenaga Air (PLTA) di China terganggu, mengingat China lebih banyak menggunakan air sebagai energi listriknya. Salah satu provinsi di China, Sichuan, menggunakan 80% energi listriknya dari PLTA. Sehingga, membuat permintaan listrik meningkat 25%.Â
Hal ini menjadi pemicu pengalihan PLTA ke batu bara untuk energi listriknya, akibatnya permintaan batu bara dari China akan meningkat dan berpotensi terjadinya kenaikan harga batu bara global.Â
Pemerintah perlu mewaspadai kondisi tersebut, karena berpotensi kembali terjadinya krisis pasokan batu bara PLN, imbas dari disparitas harga antara harga domestik dan harga internasional.
Penghematan listrik yang dilakukan pemerintah China, memaksa perusahaan-perusahaan besar seperti Toyota, Foxconn, dan Tesla, untuk menangguhkan operasinya selama dua minggu terakhir dan rencana memulai produksipun ditunda.Â
Hal ini menyebabkan penurunan drastis pada produksi industri akibat dari pemadaman listrik. Artinya, ekonomi China berpotensi mengalami penurunan.Â
Pelemahan ekonomi China tersebut akan menekan daya beli masyarakat, sehingga permintaan dari China ke Indonesia menurun (ekspor Indonesia turun), pasalnya China merupakan salah satu negara tujuan utama ekspor Indonesia.Â
Lebih lanjut akan berdampak pada penurunan produktivitas industri di Indonesia dan mendorong peningkatan pengangguran.
Produksi industri yang terganggu di China juga akan mempengaruhi impor Indonesia dari China, terutama pada produk elektronik dan peralatan medis. Sehingga, berpotensi terjadinya peningkatan imported inflation.
Namun, di sisi lain, kondisi kekeringan di China menjadi peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspornya dengan kebijakan dan pengawasan yang ketat oleh pemerintah.Â
Ancaman gagal panen di China terutama pada komoditas padi/beras, di mana Indonesia telah mendapat penghargaan sebagai negara swasembada beras, berpotensi sebagai negara pemasok beras ke China dengan memprioritaskan kebutuhan dalam negeri.Â
Selain itu, Indonesia juga berpeluang untuk meningkatkan ekspor Crude palm Oil (CPO), kopi, dan teh, karena permintaan dari China akan meningkat.Â
Kenaikan harga batu bara juga akan meningkatkan nilai ekspor Indonesia. Namun, pemerintah perlu memperketat kebijakan Domestik Market Obligation (DMO) batu bara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H