Dalam pengalaman yang sama pada tulisan saya sebelumnya tentang Dekke Naniura, ada tradisi lain yang juga erat berdampingan. Tradisi itu adalah penggunaan kain tradisional yang disebut ulos. Penggunaan kain ulos merupakan ciri khas yang spesial bagi masyarakat Batak.
Ulos adalah kain tenun tradisional yang berasal dari daerah Tapanuli, Sumatera Utara. Kain ini tidak hanya berfungsi sebagai pakaian, tetapi juga kelengkapan wajib dalam berbagai acara adat.
Umumnya, ulos dipakai dalam acara-acara adat seperti perkawinan dan kematian. Kain ulos memiliki makna mendalam dan simbolis dalam kehidupan masyarakat Batak.
Tulisan ini akan membahas secara singkat mengenai sejarah, pembuatan, makna yang terkandung, dan upaya melestarikan ulos.
Sejarah Ulos Batak
Sejarah ulos bermula dari kebutuhan masyarakat suku Batak yang tinggal di daerah pegunungan Bukit Barisan untuk melawan hawa dingin. Pada awalnya, para leluhur biasa mengandalkan sinar matahari dan api sebagai sumber kehangatan.
Namun, ketika kondisi cuaca tidak bersahabat dan berubah-ubah, mereka memerlukan alternatif lain yang lebih praktis untuk menghangatkan tubuh. Ide membuat sehelai kain yang bisa berfungsi untuk menghangatkan tubuh pun muncul.
Dikutip dari laman intisari, situs warisan budaya kemdikbud.go.id menyebutkan bahwa ulos mulai diperkenalkan oleh masyarakat Batak pada abad ke-14. Masa itu bersamaan dengan masa ekspansi  alat tenun tangan dari India.
Sesudahnya, produksi ulos secara tradisional mulai dilakukan. Ulos pun mulai menjadi simbol identitas budaya Suku Batak. Dalam perkembangannya, ulos digunakan tidak hanya dalam kehidupan sehari-hari tetapi juga dalam berbagai upacara adat, seperti pernikahan dan upacara kematian.