Dalam obrolan bersama anak-anak yang sudah beranjak remaja dan dewasa, muncul pertanyaan menggelitik: Kalau aku jadi seperti generasi sandwich, menurut papa/mama, aku akan gimana ya?
Pertanyaan anak-anak ini sebenarnya ingin memancing reaksi orangtua berkaitan dengan maraknya konten di media sosial tentang para sandwich generation yang berbagi kisah hidupnya. Ada yang mengeluh, namun ada juga yang saling menguatkan.
Tulisan ini akan membahas secara ringkas tentang fenomena sandwich generation yang sedang tren saat saat ini, apa sih sebenarnya makna dari sandwich generation itu? mengapa bisa terjadi? Lalu, bagaimana kita menyiasatinya?
Istilah Generasi Sandwich (Sandwich Generation)
Generasi sandwich merupakan istilah yang digunakan bagi kelompok orang yang terjepit antara dua generasi yaitu generasi atas dan generasi bawah.
Generasi sandwich dianalogikan seperti sandwich yang berupa tumpukan roti dengan isian di tengahnya. Roti bagian atas sebagai simbol orang tua atau mertua. Roti bagian bawah sebagai simbol anak. Sedangkan isiannya merupakan simbol dirinya sendiri.
Generasi sandwich memberikan Gambaran tentang financial position, dimana seseorang memiliki tanggung jawab ganda yaitu harus membiayai kebutuhan dirinya sendiri, orangtua dan anak-anaknya.
Istilah "generasi sandwich" dipopulerkan oleh Gail Sheehy, seorang penulis buku: Passages: Predictable Crises of Adult Life tahun 1995. Sebelumnya, pada tahun 1981, Dorothy A. Miller, seorang profesor sekaligus direktur praktikum University Kentucky, Lexington, Amerika Serikat, telah menggunakan istilah ini juga dalam bukunya, Social Work (1981).
Data Generasi Sandwich
Survei DataIndonesia.id pada 2023 yang dikutip dari Amarta.com menunjukkan bahwa sebesar 46,3% generasi Z di Indonesia menjadi generasi sandwich. Mereka bertanggung jawab untuk menghidupi diri sendiri, orang tua, dan anaknya dalam waktu yang bersamaan.