Mohon tunggu...
Krismas Situmorang
Krismas Situmorang Mohon Tunggu... Guru - Teacher, Freelancer Writer, Indonesian Blogger

Observer of Social Interaction, Catechist in the Parish.

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Kecemasan Sosial di Era Digital: FOMO, Budaya Flexing dan Perilaku Konsumtif

14 September 2024   23:26 Diperbarui: 14 September 2024   23:26 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi fomo, sumber: https://www.circlekindo.com/news/masih-sering-fomo-say-no-more/

Perkembangan teknologi informasi secara digital yang pesat membawa keuntungan bagi para penggunanya. Komunikasi terjalin menjadi lebih mudah. Selain itu, individu lebih mudah terhubung dengan individu lainnya. Media Sosial dan Teknologi dengan platform seperti Instagram, Facebook, atau TikTok semakin diminati banyak orang khususnya para generasi milenial.

Namun, pernahkan disadari bahwa orang-orang terus-menerus terpapar dengan kehidupan orang lain, terutama pada momen-momen yang terlihat menyenangkan, sukses, atau menarik. Situasi ini memperkuat kesan bahwa ada hal-hal penting yang sedang kita lewatkan.

Fear of Missing Out (FOMO)

Secara alami, manusia cenderung membandingkan diri mereka dengan orang lain. Ketika kita melihat orang lain "menikmati" hidupnya, entah itu melalui perjalanan, karier, atau hubungan, kita mungkin merasa hidup kita kurang menarik atau tidak sebaik mereka.

Dalam banyak budaya, ada ekspektasi untuk selalu terlibat dalam berbagai aktivitas sosial atau tren terkini. Ketika kita merasa tidak dapat mengikutinya, kita merasa tertinggal, tidak relevan, atau tertekan secara sosial.

Sebagai makhluk sosial, manusia memiliki kebutuhan untuk merasa terhubung dengan komunitas atau lingkungannya. Ketika ada kebutuhan untuk merasa terhubung, perasaan cemas atau takut akan kehilangan sesuatu bisa muncul. Perasaan seperti ini dikenal dengan sebutan Fear of Missing Out (FOMO).

Perasaan FOMO seringkali dipicu oleh informasi yang didapatkan di media sosial seperti liburan, pertemuan sosial, atau pencapaian karier. Informasi ini kemudian menimbulkan perasaan iri atau cemas bahwa mereka tertinggal atau tidak ikut merasakan pengalaman tersebut.

Gejala FOMO biasanya berupa rasa cemas ketika tidak terlibat dalam suatu kegiatan yang terlihat menyenangkan atau penting. Muncul kecenderungan untuk terus mengikuti perkembangan di media sosial sekedar memastikan bahwa tidak ada hal penting yang terlewatkan. Orang-orang dengan gejala ini merasa tidak puas atau iri dengan kehidupan orang lain yang tampak lebih menarik di media sosial.

Kondisi bisa tentu dapat berdampak negatif pada kesejahteraan mental seseorang seperti peningkatan stres, rasa cemas, dan perasaan tidak berharga.

Flexing

Berdekatan dengan FOMO tetapi berada pada sisi yang lain, adalah sebuah istilah yang biasanya digunakan dalam percakapan sehari-hari, terutama di media sosial. Istilah ini menggambarkan tindakan memamerkan sesuatu, terutama barang-barang mewah, pencapaian, atau status sosial. Tindakan ini bertujuan untuk mendapatkan perhatian, pengakuan, atau pujian dari orang lain. Istilah yang digunakan untuk tindakan ini adalah "flexing." Contoh flexing adalah seseorang yang terus-menerus memposting foto barang-barang mahal, kendaraan mewah, atau gaya hidup glamor di media sosial dengan tujuan untuk menunjukkan status sosialnya.

Kata "flexing" berarti "melenturkan" atau "memamerkan." Dalam konteks modern, kata ini sering digunakan dengan konotasi negatif untuk menyindir seseorang yang suka pamer atau berlebihan dalam menunjukkan kekayaan, keberhasilan, atau barang-barang yang dianggap prestisius. omitmen

Orang yang "flexing" cenderung menunjukkan kekayaan, keberhasilan, atau barang-barang yang dianggap prestisius untuk mendapatkan perhatian, pengakuan, atau rasa kagum dari orang lain. Fleksing sering kali terjadi di media sosial, di mana seseorang mungkin membagikan foto-foto atau cerita yang bertujuan untuk menunjukkan gaya hidup mewah atau keberhasilan mereka. Dalam konteks negatif, flexing bisa dianggap sebagai perilaku suka pamer atau sombong. Namun, ada juga yang menganggap flexing sebagai bentuk ekspresi diri atau cara untuk merayakan pencapaian mereka sendiri.

Kecanduan Belanja

Selain sikap flexing yang suka pamer kekayaan, ada satu contoh sikap lain yang menggambarkan kebiasaan seseorang untuk belanja secara berlebihan atau tidak terkendali (shopaholic).

Mereka yang memiliki perilaku kecanduan belanja cenderung membeli barang-barang yang mungkin tidak mereka butuhkan atau tidak mampu untuk dibeli. Keadaan ini ditandai dengan perilaku yang merasa kesulitan untuk mengendalikan hasrat belanja dan memiliki keinginan yang kuat untuk membeli barang.

Bagi sebagian orang, kebiasaan berbelanja secara berlebihan ini dianggap sebagai cara untuk mengatasi kecemasan, stres, atau emosi negatif lainnya. Meskipun berbelanja dapat memberikan kepuasan sementara, namun orang dengan kebiasaan shopaholic merasa menyesal setelah berbelanja terutama jika tindakannya itu menyebabkan timbulnya masalah keuangan, hubungan sosial, masalah keluarga atau rumah tangga, dan kesehatan mental. .

Refleksi

Sekilas ketiga contoh perilaku negatif itu tampak biasa dan tidak berkaitan. Namun, jika dicermati, tindakan suka berbelanja, pamer, dan iri melihat keadaan orang lain dapat menjadi sebuah lingkaran masalah yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Bukan tidak mungkin, orang dapat menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Misalnya dengan melakukan korupsi.

Mungkin, sikap pengendalian diri, pembekalan wawasan literasi keuangan dan moral sosial perlu diberikan kepada siapa saja khususnya generasi muda.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun