Berdekatan dengan FOMO tetapi berada pada sisi yang lain, adalah sebuah istilah yang biasanya digunakan dalam percakapan sehari-hari, terutama di media sosial. Istilah ini menggambarkan tindakan memamerkan sesuatu, terutama barang-barang mewah, pencapaian, atau status sosial. Tindakan ini bertujuan untuk mendapatkan perhatian, pengakuan, atau pujian dari orang lain. Istilah yang digunakan untuk tindakan ini adalah "flexing." Contoh flexing adalah seseorang yang terus-menerus memposting foto barang-barang mahal, kendaraan mewah, atau gaya hidup glamor di media sosial dengan tujuan untuk menunjukkan status sosialnya.
Kata "flexing" berarti "melenturkan" atau "memamerkan." Dalam konteks modern, kata ini sering digunakan dengan konotasi negatif untuk menyindir seseorang yang suka pamer atau berlebihan dalam menunjukkan kekayaan, keberhasilan, atau barang-barang yang dianggap prestisius. omitmen
Orang yang "flexing" cenderung menunjukkan kekayaan, keberhasilan, atau barang-barang yang dianggap prestisius untuk mendapatkan perhatian, pengakuan, atau rasa kagum dari orang lain. Fleksing sering kali terjadi di media sosial, di mana seseorang mungkin membagikan foto-foto atau cerita yang bertujuan untuk menunjukkan gaya hidup mewah atau keberhasilan mereka. Dalam konteks negatif, flexing bisa dianggap sebagai perilaku suka pamer atau sombong. Namun, ada juga yang menganggap flexing sebagai bentuk ekspresi diri atau cara untuk merayakan pencapaian mereka sendiri.
Kecanduan Belanja
Selain sikap flexing yang suka pamer kekayaan, ada satu contoh sikap lain yang menggambarkan kebiasaan seseorang untuk belanja secara berlebihan atau tidak terkendali (shopaholic).
Mereka yang memiliki perilaku kecanduan belanja cenderung membeli barang-barang yang mungkin tidak mereka butuhkan atau tidak mampu untuk dibeli. Keadaan ini ditandai dengan perilaku yang merasa kesulitan untuk mengendalikan hasrat belanja dan memiliki keinginan yang kuat untuk membeli barang.
Bagi sebagian orang, kebiasaan berbelanja secara berlebihan ini dianggap sebagai cara untuk mengatasi kecemasan, stres, atau emosi negatif lainnya. Meskipun berbelanja dapat memberikan kepuasan sementara, namun orang dengan kebiasaan shopaholic merasa menyesal setelah berbelanja terutama jika tindakannya itu menyebabkan timbulnya masalah keuangan, hubungan sosial, masalah keluarga atau rumah tangga, dan kesehatan mental. .
Refleksi
Sekilas ketiga contoh perilaku negatif itu tampak biasa dan tidak berkaitan. Namun, jika dicermati, tindakan suka berbelanja, pamer, dan iri melihat keadaan orang lain dapat menjadi sebuah lingkaran masalah yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Bukan tidak mungkin, orang dapat menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Misalnya dengan melakukan korupsi.
Mungkin, sikap pengendalian diri, pembekalan wawasan literasi keuangan dan moral sosial perlu diberikan kepada siapa saja khususnya generasi muda.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H