Pada Peringatan Hari Ulang Tahun Paroki ke-45, Gereja Katolik Santo Aloysius Gonzaga di Cijantung, Uskup Agung Jakarta, Mgr. Ignatius Suharyo memberikan sebuah refleksi permenungan bagi umat Katolik yang ada di paroki ini. Dalam renungannya berkaitan dengan kehidupan baru yang direfleksikan dan diwujudnyatakan, Uskup menyebutkan satu dari sekian banyak persoalan penting yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini, yaitu tengkes.
Kata 'tengkes' merupakan kata atau istilah yang jarang di dengar. Kata yang bermakna sama namun berasal dari bahasa asing, lebih familiar di dengar sehari-hari, yaitu stunting. Dalam KBBI, 'tengkes' artinya kerdil (tidak dapat tumbuh menjadi besar); kecil (jika dibandingkan dengan pasangannya dan sebagainya). Sedangkan kata 'stunting' justru tidak ditemukan.
Fenomena Tengkes atau Stunting
Dikutip dari laman Siloam Hospital, stunting merupakan gangguan pertumbuhan fisik yang dialami oleh anak-anak di bawah usia 5 tahun. Gejala umum yang tampak adalah tinggi badan yang lebih pendek daripada anak-anak seusianya. Hal ini disebabkan  karena keterlambatan dalam pertumbuhan tinggi badannya (Annur, 2023).
Berdasarkan data dari Katadata Media Networks, Kementerian Kesehatan mencatat status gizi buruk pada balita yang mengalami tengkes secara nasional sebesar 24,4% pada tahun 2021. Mayoritas anak yang mengalami tengkes berada pada rentang usia 3-4 tahun. Kemudian, pada tahun 2023 DPR RI mencatat data prevalensi tengkes sebesar 21,6%. Angka ini masih tergolong tinggi. Bahkan di Jakarta, DPRD DKI Jakarta mencatat prevalensi tengkes sebesar 14,8% pada tahun 2022.
Kondisi ini tentu cukup memprihatinkan di tengah berbagai kemajuan yang dialami bangsa kita. Persoalan ini cukup serius karena menyangkut anak-anak yang menjadi masa depan bangsa. Angka prevalensi tengkes yang demikian besar itu harus terus diupayakan turun.
Penyebab Tengkes
Tengkes dikenali dengan melihat kondisi tinggi badan anak yang berada di bawah rata-rata tinggi anak seusianya. Dikutip dari laman klikdokter.com, tinggi badan rata-rata anak laki-laki usia 3 tahun adalah 89 cm dan anak perempuan usia 3 tahun adalah 87,8 cm. Sedangkan, tinggi badan rata-rata anak laki-laki usia 4 tahun adalah 95,8 cm dan anak perempuan usia 4 tahun adalah 95 cm.
Secara awam, orang menganggap anak yang bertubuh pendek karena faktor keturunan. Meskipun tidak semua anak berbadan pendek dapat disebut mengalami tengkes. Namun, ciri-ciri berikut dapat digunakan untuk mengantisipasi sejak dini kemungkinan terjadinya tengkes pada anak, yaitu: berat badan rendah, pertumbuhan tulang terhambat, mudah terpapar sakit, gangguan pertumbuhan, kurang aktif bergerak, dan tinggi badan yang tidak mengalami peningkatan.
Dari sisi medis, lambatnya pertumbuhan tinggi badan anak disebabkan karena kurang terpenuhinya asupan gizi yang cukup dalam waktu yang lama. Pada ibu hamil, kekurangan gizi dapat menyebabkan bayi dalam kandungan kekurangan sumber kekuatan yang menunjang pertumbuhan janin. Beberapa contoh gizi yang penting bagi ibu hamil antara lain: asam folat yang penting untuk menjaga sistem saraf, kalsium dan vitamin D yang perlu bagi pertumbuhan tulang, zat besi yang perlu untuk pertumbuhan sel darah merah, dan masih banyak lagi.
Gizi penting yang diperlukan ibu hamil itu didapat melalui konsumsi sayuran, buah-buahan, dan protein yang cukup. Selain itu, pemberian ASI pasca melahirkan membantu memperkuat kekebalan tubuh bayi. Anak yang memiliki kekebalan tubuh yang rendah, cenderung mudah sakit. Hal ini tentu akan ikut mempengaruhi pertumbuhannya.
Faktor sanitasi seperti kebersihan rumah dan lingkungan, kebersihan makanan dan ketersediaan air bersih, akses terhadap pelayanan kesehatan yang rendah seperti jarang melakukan pemeriksaan kesehatan, berpengaruh kuat dalam pembentukan daya tahan tubuh anak.
Ragam Upaya Pencegahan dan Perbaikan
Semua orang, dengan caranya masing-masing, diharapkan ikut serta untuk mendorong perbaikan gizi anak-anak yang menderita tengkes. Dari pihak pemerintah, tentu sudah tahu apa yang harus dilakukan terhadap masyarakat.
Bagi masyarakat awam, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah berempati dan peduli terhadap kondisi ini. Bentuk kepedulian dan empati itu secara sederhana ditunjukkan dengan cara tidak membuang makanan.
Menarik sekali ketika Paus Fransiskus, pemimpin Gereja Katolik sedunia, mengatakan bahwa ketika kita membuang makanan, sama artinya kita merampas hak orang miskin. Lebih jauh, beliau menekankan perlunya menanggalkan sikap konsumerisme khususnya dalam hal makanan. Keprihatinan Paus Fransiskus itu bukan tanda dasar.
Di Indonesia sendiri, Katadata Media Network mencatat Laporan Kajian Food Loss and Waste di Indonesia pada tahun 2021, bahwa setiap tahun, Indonesia menghasilkan 19 juta ton sampah makanan konsumsi. Sebanyak 80% food waste berasal dari rumah tangga, dan sisanya sebesar 20% berasal dari sektor non-rumah tangga. Hampir setengah dari food waste rumah tangga itu merupakan sisa makanan yang layak makan. Cukup memprihatinkan bukan.
Refleksi
Di tengah kesulitan sebagian orang yang berusaha memenuhi kebutuhan makan dan asupan gizinya, ada banyak orang yang menyisakan makanan. Semoga menjadi refleksi bersama untuk memulai dari tindakan sederhana. Mari berperan memberantas tengkes.***
Sumber gambar:Â
https://www.liputan6.com/hot/read/5137426/5-pencegahan-stunting-pada-anak-jaga-kebersihan-dan-penuhi-asupan-nutrisi-saat-hamil
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H